Dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Erlina Burhan mengkritik impor hingga satu juta alat tes cepat (rapid test) corona yang dilakukan pemerintah.
Menurut Erlina, sekali pun disebut tes cepat, tidak semua orang bisa begitu saja diuji mengidap virus yang berasal dari Wuhan, China.
“Kalau saya boleh saran, ini kan (alat rapid test) sudah kadung dibeli, ke depan jangan deh,” ujar Erlina di Indonesia Lawyers Club (ILC) tvOne, Jakarta, Selasa, 24 Maret 2020.
Erlina menyampaikan, rapid test, hanya bisa digunakan mendiagnosa keberadaan corona jika ada antibodi yang terbentuk saat seseorang menunjukkan gejala.
Dengan demikian, persepsi publik bahwa tes besar-besaran harus dilakukan untuk menghambat penyebaran corona, adalah salah.
“Kalau seseorang dalam masa inkubasi, kemudian diperiksa rapid test serologi belum terdeteksi, nanti jadi seolah-olah negatif, ini disebut negatif palsu,” ujar Erlina.
Ia juga mengemukakan, salah diagnosa akan berakibat fatal di masyarakat. Karena tidak merasa mengidap virus, masyarakat bisa saja kembali beraktivitas normal, kemudian malah menjadi penyebar virus.
“Nanti masyarakat terlanjur bahagia, gembira, bahwa dia negatif, lalu bikin lagi keramaian, bikin pesta lagi, jalan-jalan lagi, padahal mungkin dalam masa inkubasi. nanti suatu ketika bergejala, menularkan kepada yang lain,” ujar Erlina.
Erlina menyarankan, pemerintah, lebih baik melakukan pengadaan besar alat polymerase chain reaction (PCR) untuk digunakan di rumah sakit atau laboratorium kesehatan.
Hal itu akan membuat lebih banyak fasilitas kesehatan yang memiliki kemampuan melakukan tes akurat corona lebih banyak lagi daripada saat ini.
“Saya juga tidak setuju tadi dikatakan seluruh masyarakat Indonesia akan dites (dengan menggunakan rapid test). Tidak bisa. Hanya yang bergejala saja yang bisa dites,” ujar Erlina.
Sumber: viva.co.id