BPIP: Orde Baru Pakai Sistem Pemilu Tertutup Aman-Aman Saja, Senang-Senang Saja

Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Karjono (Republika)

Sistem kepemiluan saat ini tengah menjadi polemik menjelang putusan atas uji materi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Menanggapi hal itu, Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyatakan apa pun putusannya semua adalah yang terbaik. Dia memastikan negara tidak akan bubar jika putusan kembali menjadi tertutup.

“Jadi, negara ini tidak akan bubar dengan sistem apakah itu terbuka, apakah itu tertutup, dan apakah itu terbuka-terbatas,” kata Karjono saat menjawab pertanyaan soal upaya BPIP menjaga spirit Pancasila menyambut pemilu 2024 di Hotel Arya Duta Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Karjono menambahkan, Indonesia sudah sangat berpengalaman dengan pelbagai macam sistem pemilu. Sebagai individu yang tumbuh di era Orde Baru, dia mencontohkan, pemilu dengan sistem tertutup membuat masyarakat aman dan senang.

Begitu pun zaman setelahnya, yang menerapkan sistem terbuka. Karena itu, dia percaya pemilu tetap akan damai.

“Zaman Orde Baru, semua tertutup, aman-aman saja, senang-senang saja. Sekarang terbuka,” ujar Karjono.

Sebelumnya diberitakan, Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengaku sudah mengetahui nantinya Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup. Menurut dia, pada putusannya nanti hakim MK akan memiliki pendapat yang terbelah.

“Jadi putusan kembali memilih tanda gambar partai saja. Info tersebut menyatakan, komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting,” kata Denny dalam keterangan tertulis yang disiarkan via sosial media pribadinya, Minggu, 28 Mei 2023.

Paka Hukum Tata Negara itu meyakini, dengan sistem pemilu yang proporsional tertutup maka Indonesia akan kembali ke zaman Orde Baru yang otoritarian dan koruptif.

“Masihkah ada harapan? Yang pasti terus ikhtiar berjuang, sambil menanti kemukjizatan. Salam integritas,” ujar Denny.

Kembali ke Zaman Jahiliyah jika Terapkan Sistem Pemilu Tertutup

Usai pernyataan itu publik menjadi geger. Sebab, dengan diberlakukannya sistem pemilu tertutup diyakini terjadi kemunduran demokrasi pascareformasi 1998. Salah satunya dikatakan oleh Anies Baswedan yang kini tengah maju sebagai bakal calon presiden pada pemilu 2024.

Baca Juga:  BPIP Benturkan Pancasila dan Agama, Rektor Paramadina: Pak Jokowi Harus Hati-hati!

“Kalau jadi tertutup kita kembali ke era pra demokrasi, calon legislatif ditentukan oleh partai dan rakyat tidak bisa ikut menentukan orangnya, sebuah kemunduran bagi demokrasi kita. Jadi sistem proporsional terbuka harus dipertahankan, jangan sampai dihapus karena itulah indikator bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat,” kata Anies saat ditemui di Kawasan Brawijaya Jakarta Selatan, Selasa, 30 Mei 2023.

Pengamat politik Adi Prayitno menilai jika pada akhirnya MK memutuskan sistem pemilu menggunakan proporsional tertutup, maka terjadi kemunduran politik di Tanah Air.

“Sistem proporsional tertutup itu adalah sistem yang cukup jahiliyah ya. Terutama pada level penentuan siapa yang harus terpilih menjadi anggota dewan,” ujar Adi.

Adi menjelaskan dengan menerapkan sistem tertutup atau coblos gambar partai, pilihan rakyat akan berbeda dengan suara partai. Karena yang jadi itu bukan mereka yang mendapatkan suara mayoritas, tapi mereka yang ditunjuk oleh partai.

“Jadi anggota dewan hanya karena didasarkan pada nomor urut jadi, terutama nomor urut 1 dan nomor urut 2. Bagi saya sistem proporsional jika praktiknya sama seperti di zaman Orde Baru, saya kira ini sistem politik yang cukup mundur, yang cukup jahiliyah, terbelakang,” tuturnya.

Baca Juga:  Megawati: Pak Hoegeng Terbaik, Orangnya Merakyat

Penerapan sistem proporsional tertutup, menurut Adi, lebih banyak mudaratnya ketimbang untungnya bagi rakyat.

Dari segi mudarat, kata Adi, pilihan politik rakyat akan berbeda dengan partai karena suara terbanyak belum menjadi anggota dewan. Kedua, rakyat tidak punya keleluasaan yang harus memilih siapa yang menjadi anggota dewan, tapi yang menentukan anggota dewan itu adalah partai.

“Yang ketiga ini seperti membeli kucing dalam karung. Bahwa yang terpilih itu bukan pilihan rakyat,” katanya.

Meski demikian, Adi memandang, tetap ada nilai positif dalam sistem proporsional tertutup yakni, caleg-caleg adalah mereka yang sudah lama berproses di partai.

“Itu artinya caleg tidak ujug-ujug menjadi caleg, dia harus melalui proses rekrutmen, kaderisasi, dan sekolah politik yang cukup panjang. Saya kira pesan dalam sistem proporsional tertutup di situ,” tuturnya.

Sumber: liputan6.com

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan