Mendagri: Sistem Demokrasi Buka Peluang Masuknya Ideologi yang Bertentangan dengan Pancasila

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mempresentasikan inovasi i-POP di hadapan tim panel independen Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) yang diselenggarakan oleh Kementerian PAN-RB melalui konferensi video, di Jakarta, Selasa (30/06/2020). (ANTARA/kominfo/pri.)

IDTODAY.CO – Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian mengatakan sistem demokrasi yang dianut Indonesia juga membuka peluang masuknya paham atau ideologi yang tidak sesuai dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam Webinar Nasional “Visi Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Pemilu dan Pilkada”, di Jakarta, Senin (31/8/2020).

“Kebebasan memberi ruang kepada kelompok-kelompok atau bahkan ideologi-ideologi yang bertentangan dengan ideologi bangsa. Belum lagi munculnya internet, ruang siber, membuat pemahaman atau ideologi yang tidak sesuai pancasila, atas nama kebebasan berkembang,” terangnya sebagaimana dikutip dari Beritasatu.com.

Kemudian, dia menegaskan perlunya mengantisipasi potensi efek negatif dalam setiap perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) ataupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Menurutnya, konflik dan kekerasan merupakan salah satu dampak yang patut diwaspadai.

“Dalam perjalanannya, kita melihat adanya negatif impact daripada election (Pemilu atau Pilkada). Misalnya dalam konteks pemilu maupun pilkada terjadinya keterbelahan,” kata Tito Karnavian.

Perbedaan sikap atau pandangan politik masyarakat dalam menyingkapi tokoh-tokoh yang muncul dalam setiap perhelatan Pemilu ataupun Pilkada bisa menjadi pemicu utama keterbelahan antara para pendukung.

“Dalam konteks ilmu security, perbedaan berpotensi menimbulkan konflik. Konflik ini yang harus kita manage. Jika tidak, Keterbelahan ini bisa menjadi konflik-konflik kekerasan,” ucapnya.

Lebih lanjut, Mendagri mencontohkan, bagaimana masyarakat Jakarta sempat terbelah saat pelaksanaan Pilkada. Residu yang muncul bahkan masih terasa hingga sekarang.

Kemudian, Pemilu atau Pilkada juga merupakan pergelaran politik yang tergolong berbiaya sangat tinggi. Masing-masing calon yang muncul perlu memikirkan bagaimana memenuhi berbagai kebutuhan logistik agar terpilih.

“Pemilu maupun Pilkada juga berbiaya tinggi, sehingga salah satu faktor korupsi. Mulai dari tim sukses, kampanye, biaya saksi, yang menyebabkan biaya tinggi,” ucap Tito.

Baca Juga:  Rakyat Hanya Sebatas Angka, Demokrasi Indonesia Dikendalikan Cukong

Terkait hal tersebut, Tito menegaskan hal tersebut menjadi penyebab calon tidak siap kalah karena biaya politik yang sangat tinggi.

Menurutnya, semua dampak negatif yang dibeberkan, merupakan residu demokrasi yang menjadi tantangan termasuk meningkatnya primordialisme yang mengatasnamakan keagamaan, suku, ras, dan lain sebagainya.

“Kita tentunya perlu waspada agar demokrasi di Indonesia tetap berlandaskan pada Pancasila. Apalagi sebentar lagi kita akan menggelar Pilkada serentak di tengah pandemi,” pungkas Tito.[beritasatu/brz/nu]

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan