Omnibus Law, RUU Bikin Rakyat Galau

Oleh: Hafshah Damayanti, S.Pd (Pegiat Literasi Untuk Rakyat)

Kontroversi Omnibus Law terus menggelinding. Banyak pihak yang terusik, merasakan nuansa kelicikan dari paket rancangan undang-undang yang digulirkan pemerintah ke ruang publik. Kritik pun terus bermunculan, sejak Omnibus Law disebut oleh Joko Widodo dalam pidato pelantikannya 20 Oktober 2019 lalu. Meski berusaha menyakinkan publik akan ampuhnya Omnibus Law dalam mengatasi persoalan regulasi di negeri ini yang terkenal rumit, namun tetap saja disambut sinis oleh banyak pihak.

Omnibus Law semakin membongkar jati diri rezim yang berkuasa saat ini. Tampak jelas nafsu memperkuat kekuasaan yang ditandai dengan terungkapnya pasal yang memberi kewenangan Presiden untuk mengubah UU hanya melalui PP (Peraturan Pemerintah). Setelah diketahui publik pasal yang bermasalah itu, baru diklaim sebagai ‘salah ketik’ semata. Namun demikian, hal itu tidaklah menghilangkan kecurigaan publik bahwa Omnibus Law kali ini sebagai jalan mulus bagi Presiden kian otoriter. Terlebih lagi, ditengarai pembahasan Omnibus Law terkesan dirahasiakan oleh rezim tanpa melibatkan publik sama sekali.

Sebagai konsekuensi kedaulatan ditangan rakyat yang diadopsi oleh sistem Demokrasi, maka Omnibus Law adalah salah satu implementasi bahwa rakyat  melalaui wakilnya di pemerintahan dan parlemen lah yang berwenang merumuskan peraturan dan undang-undang untuk mengatur semua aspek kehidupan rakyat dan negara. Meski realita menunjukkan tak sedikit peraturan dan undang-undang tak sejalan dengan keinginan dan kehendak rakyat.

Baca Juga:  Waduh! Omnibus Law Legalkan Penggunaan Ijazah dan Gelar Palsu?

Adapun Omnibus Law yang sering juga disebut omnibus bill, merupakan undang-undang yang mencakup sejumlah topik beragam. Menggabungkan beberapa aturan yang substansinya berbeda, menjadi peraturan besarhttps://www.facebook.com/812692572241893/posts/1473713792806431/?substory_index=0 yang berfungsi sebagai umbrella act, diiringi pencabutan beberapa aturan tertentu. Omnibus Law juga dikenal semacam UU ‘sapujagat’.  Praktik Omnibus Law ini muncul pertama kali di Amerika Serikat tahun 1888. Di Indonesia sendiri, konsep Omnibus Law pernah digunakan ketika deregulasi kehutanan dilakukan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional waktu itu, Sofyan Djalil.

Di Paruh kedua pemerintahan Jokowi ini, di antara 50 RUU dalam Prolegnas 2020, empat  diantaranya adalah Omnibus Law. Yakni RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN), Kefarmasian, Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), serta Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Pemerintahan Presiden Jokowi menyatakan sedikitnya ada 74 UU yang terdampak dari Omnibu Law. Salah satunya yang paling banyak memicu protes kaum buruh adalah sektor ketenagakerjaan, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka).

Baca Juga:  Soal Demo Ricuh Omnibus Law, Komisi III DPR: Kami Mendorong Polri Mengusut Siapapun yang Membuat Kekacauan di Negeri Ini

Lebih dari itu, banyak pihak yang menilai Omnibus Law tak lebih merupakan UU ‘pesanan’ penjajah kapitalis, baik pengusaha besar atau para pemilik modal maupun negara penjajah asing dan aseng yang berebut menancapkan hegemoninya di negeri ini. Faktanya Omnibus Law ini banyak memberikan kemudahan kepada para penjajah untuk leluasa menguasai sumber-sumber kekayaan negeri ini. Sebaliknya, Omnibus law tidak banyak berpihak kepada kesejahteraan rakyat, termasuk para buruh. Bahkan dengan adanya pasal-pasal yang akan menghapus sertifikasi halal dan perda Syariah menunjukkan adanya upaya memarginalkan umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri ini.

Dalam sistem Kapitalisme, sudah menjadi rahasia umum bahwa penyusunan UU sering mengabaikan aspirasi rakyat meski jargon yang diagung-agungkan adalah kedaulatan di tangan rakyat. Yang banyak terjadi adalah UU dibuat untuk mengakomodir kepentingan para pemodal kelas kakap. Begitu pula yang melatar belakangi adanya deregulasi di negeri ini. Omnibus Law menjadi pilihan karena para pemodal besar tak akan sabar menempuh jalur konvesional untuk merivisi  UU satu per satu yang tentu memakan waktu bertahun-tahun lamanya.

Demikianlah watak asli demokrasi, hukum dan UU bisa diubah sesuai dengan kepentingan penguasa yang dikendalikan para pemilik modal yang hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompoknya. Kehidupan rakyat tak pernah mereka pedulikan, nasib rakyat hanya dilirik sesaat ketiika rezim butuh legitimasi kekuasaan dari rakyat saat pemilu. Omnibus Law tak ubahnya racun yang mematikan sendi-sendi kehidupan rakyat secara perlahan, karena rakyat lah yang paling rentan galau hidupnya ketika pemberlakuan Omnibus Law.

Adanya kewenangan membuat aturan dan perundang-undangan bagi penguasa sesuai dengan selera dan kepentingan kroni-kroninya, tentu tidak dikenal dalam Islam. Islam menegaskan bahwa pembuatan undang-undang haruslah berasal dari Allah SWT Sang Maha Adil dan Sempurna. Negara wajib mewujudkan kemaslahatan umat dengan menerapkan hukum-hukum Allah semata. Negara juga bertanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan masing-masing individu rakyat dengan penuh kemandirian tanpa ada tekanan dan tunduk pada kepentingan pihak manapun, baik para pemilik modal lokal maupun kekuatan modal asing yang bernafsu menguasai sumber-sumber ekonomi negara. Ketundukan negara semata pada hukum-hukum Allah SWT. Karena kepastian yang diyakini oleh keimanan bahwa ketika hukum-hukum Allah SWT diterapkan secara sempurna akan mengayomi seluruh rakyat baik muslim maupun non muslim, miskin ataupun kaya. Lebih dari itu hukum-hukum Islam senantiasa mendatangkan kebaikan bagi seluruh alam semesta. Menjadi rahmat yang menentramkan hati dan menyelamatkan peradaban dunia dari kehancuran dan kehinaan. Bahkan kebahagian dunia dan akhirat menjadi jaminan pasti. Wallahu’alam bisshawwab.

Tulis Komentar Anda di Sini

Scroll to Top