Oleh: Irma Setyawati, S.Pd
(Pemerhati social politik dan pendidikan)

Ramadhan adalah bulan ibadah dan menundukan hawa nafsu menuju pribadi takwa yang siap memberikan ketaatan total kepada Allah SWT. Begitulah hakikat sesungguhnya dari bulan Ramadhan. Namun sayangnya Ramadhan demi Ramadhan berlalu, ketakwaan individu, masyarakat hingga bangsa ini tidak juga meningkat.

Yang terjadi malah sebaliknya, umat Islam kian hari kian jauh dari ketakwaan. Dosa dan kemaksiyatan semisal: zina, riba, LGBT, korupsi, dll masih banyak di lakukan oleh masyarakat dan di legalisasi oleh negara.  Wajar jika Allah SWT menjauhkan negara ini dari kebaikan dan keberkahan. Belum tuntas kita menghadapi masalah social dan ekonomi. Kini kita di goncang dengan masalah covid-19 dengan sederetan dampak yang di timbulkannya.

Sungguh, ini merupakan teguran besar dari Allah SWT dan Ramadhan kali ini adalah momen yang sangat tepat bagi kita untuk bertaubat , Karena taubat inilah jalan yang di tunjukkan oleh Allah SWT sebagai sarana agar hambaNya memperbaiki diri atas dosa, maksiyat dan kesalahan yang diperbuatnya yang berdampak pada kerusakan di semua sisi kehidupan saat ini.

Mengapa dosa dan maksiyat kita menjadi penyebab kerusakan? Jawabannya ada pada Firman Allah SWT di dalam QS. Ar ruum: 41 yang artinya:

“ Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut di sebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian  akibat dari perbuatan  mereka. Agar mereka kembali ke jalan yang benar” ( TQS. Ar ruum : 41).

Di tegaskan oleh as syaukani bahwa fasad yang di maksud oleh  ayat di atas adalah mencakup semua jenis kerusakan baik kerusakan alam, kerusakan ekonomi, pendidikan, politik, moral, dll  tercakup dalam kata al fasad baik yang tampak nyata di darat maupun dilautan. Berbagai kerusakan tersebut tidak terjadi tiba-tiba. Di jelaskan oleh para mufassir yang di maksud karena ulah perbuatan manusia adalah karena dosa dan maksiyat yang di lakukan oleh manusia.

Di dalam QS.Thaha: 124, Allah SWT juga berfirman yang artinya:

“ Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS. Thaha : 124 )

Dan ayat di atas menegaskan bahwa kehidupan yang sempit yang di alami manusia itu di akibatkan karena berpalingnya manusia dari syariat – syariat Allah SWT.

Jadi, ketika kita merujuk kepada dua ayat di atas, bisa di pastikan pangkal dari kerusakan yang menimpa umat Islam saat ini adalah di karenakan tidak mengambil Syariat Allah SWT dalam menyelesaikan semua persoalan kehidupan  sehingga terperosok pada kerusakan yang lebih dalam. 

Untuk memutus rantai penyebaran covid-19 pun tawaran Islam tidak di ambil oleh negara.  Syariat Islam melalui lisan Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk mengakhiri pendemi/wabah itu dengan lock down. Rasulullah bersabda,

“Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu,” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

Walhasil, ketika negara saat ini belum juga mengambil tawaran lockdown, hingga kini hampir 700 lebih nyawa melayang akibat covid-19 dan ribuan jiwa terpapar covid-19. Dan jika laju ini tidak di hentikan maka berapa nyawa lagi yang akan melayang? Bencana bertumpuk bencana lagi. Naudzubillahi min dzalik.   

Pertimbangan untung rugi dari sisi ekonomi selalu menjadi ciri khas penguasa kapitalis dalam menyelesaikan semua masalah yang menimpa bangsa ini, termasuk masalah covid-19. Semua pihak telah mendesak penguasa untuk mengambil kebijakan lockdown, akan tetapi tidak di gubris dengan alasan ketidaksiapan negara untuk menanggung biaya hidup masyarakat yang di lock down karena tidak ada anggaran untuk itu. Lagi-lagi karena alasan ekonomi.

Ekonomi bangsa ini sudah terpuruk , buktinya untuk menyelesaiakn problem yang ada  saat ini negara malah mengambil jalan dengan menambah hutang obligasi yang tenornya (jatuh tempo pengembalian) mencapai 50 tahun. Artinya negara malah manyelesaikan masalah ekonomi dengan menambahnya dengan masalah baru, dengan mewariskan hutang kepada generasi yang akan datang untuk membayarnya.

Sudah menjadi ciri negara Kapitalis termasuk Indonesia, selalu menjadikan pemasukan ekonominya dari pajak dan hutang. Padahal sebenarnya ketika negara ini mau mengambil Syariat Islam dalam mengatasi masalah ekonominya, kita tidak akan terperosok kepada problem ekonomi yang semakin dalam.

Seandainya negara ini mau mengambil solusi Islam dalam mengatur sistem ekonominya. Di dalam Syariat Islam ada sistem pembiayaan keuangan negara yang di sebut dengan Baitul maal, dimana pemasukan yang di hasilkan dari baitul maal ini sangat besar tanpa pajak dan hutang.

Darimana saja pos baitul maal di peroleh: 

Dari pos pengelolahan kepemilikan umum.

Syariat Islam menetapkan Sumber Daya Alam yang terkandung di perut bumi ini adalah harta milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh negara maupun korporasi. Negara hanya sebagai pihak pengelolah yang hasilnya diperuntukkan untuk pembiayaan kesehatan, pendidikan dan semua hajat hidup masyarakat.

Dari pos pengelolahan kepemilkan negara.

Yaitu berupa pengembangan aset-aset milik negara yang dikelolah dan menjadi harta negara.

Dari pos pengelolahan zakat maal

Pos ini khusus di distribusikan untuk 8 ashnaf, bukan untuk keperluan negara dan masyarakat.

Dengan pengelolahan ekonomi sesuai Syariat Islam, terbukti Khalifah Harun Ar rasyid di masa Kekhilafahan Abbasiyah pernah mengalami surplus anggaran yang nilainya di atas  900 dinar  (setara 2000 triliyun lebih) atau di atas APBN negara kita saat ini. Sesungguhnya kebingungan negara saat ini mengatur ekonominya telah  di jawab oleh Islam ribuan tahun yang lalu melalui penerapan sistem ekonomi Islam di bawah sistem Khilafah Islam.

Baca Juga:  Imam Besar Masjid Istiqlal Tegaskan Kewajiban Berpuasa Di Tengah Corona

Oleh karena itu, agar negara ini terentaskan dari masalah ekonomi yang tentunya berimbas pada ketidakseriusannya dalam mencegah dan menangani dampak wabah covid-19, maka penguasa harus berhenti berhutang ribawi dan mengambil solusi Islam terlebih di tengah pandemi saat ini. Agar keberkahan hidup bagi bangsa ini bisa di raih.

Caranya dengan memohon ampunan dari  Allah SWT seraya menghentikan apa yang Allah SWT larang dan menjalankan apa yg Allah SWT perintahkan. Itulah hakikat takwa. Ketakwaan itu direalisasikan dengan jalan senantiasa terikat dengan hukum-hukum Allah SWT di dalam seluruh aspek kehidupan.

Ketakwaan bukan hanya diwujudkan pada tataran individu, namun juga harus diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara . Allah SWT berfirman:

“Jika saja penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan bagi mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi” (TQS al-A’raf [7]: 96).

Ayat di atas memang menggunakan redaksi berita, tetapi di dalamnya berisi pujian. Sesuai ketentuan ushul fikih, jika suatu berita disertai dengan pujian maka maknanya adalah perintah. Karena itu meski menggunakan redaksi berita, sesungguhnya ayat tersebut memerintahkan penduduk negeri agar mereka beriman dan bertakwa secara bersama-sama dalam kehidupan bermasyarakat.

Maka, ketika bangsa ini ingin keluar dari beragam problem yang kita hadapi saat ini menuju kehidupan yang di liputi keberkahan dari Allah SWT, maka terapkan Syariat Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan mulai dari individu, masyarakat hingga negara. Dan Ramadhan kali ini sangat tepat bagi bangsa ini untuk melakukan taubatan Nasuhah. Taubat dengan semurni murninya taubat dengan meninggalkan seluruh sistem selain Islam, baik itu Kapitalis Liberalis maupun sistem Kapitalis Sosialis dan terapkan Syariat Islam.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan