Oleh: W. Irvandi

Di tengah pandemi, pemerintah berencana membahas RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja). Namun, akhirnya pembahassan ini ditunda, itupun karena mendapat desakan dari berbagai kalangan terutama para buruh yang akan melakukan aksi. Sebagaimana dilansir dari cnbcindonesia.com (16/4),  elemen buruh mengancam menggelar demo besar-besaran. Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) menyerukan agar DPR segera menghentikan pembahasan draf regulasi ini. MPBI yang merupakan gabungan tiga konfederasi buruh yakni Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), kompak satu suara.

RUU Cilaka ini sendiri berupaya untuk penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Namun di tengah pandemi ini, pemerintah seharusnya berupaya memikirkan rakyat yang kehilangan pekerjaan dan juga fokus pada penanganan wabah yang cenderung mementingkan para pengusaha atau investor.

Selain itu RUU ini disusun tidak melibatkan para buruh sebagai bagian dari partisipasi masyarakat berdasarkan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, masyarakat berhak memberikan masukan dalam pembentukan peraturan.

Adapun tujuan RUU ini adalah untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak melalui kemudahan dan perlindungan UMK-M serta perkoperasian, peningkatan ekosistem investasi, kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 3 di dalam RUU tersebut. Di sisi lain juga RUU ini memuat pasal yang cukup bermasalah.

Baca Juga:  Mega Korupsi BTS, Mengapa DPR Malah Membisu?

Misalnya dalam pasal 170, yang tertuang dalam Bab XIII Ketentuan Lain-Lain RUU Cipta Kerja. Dalam Pasal 170 ayat (1) disebutkan Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang. Hal ini bisa membuat pemerintah menjadi otoriter terhadap berbagai Undang-undang dan kebijakan berdasarkan pasal ini.

Pasal 170 ayat (1) berbunyi: “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.” Pasal 170 ayat (2) berbunyi: “Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Sementara Pasal 170 ayat (3) berbunyi: “Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.”


Mengapa dalam berbagai pembahasan RUU di negeri ini selalu menuai permasalahan-permasalahan?, Karena memang dalam sistem demokrasi selalu berbicara kepentingan. Sudah diketahui secara umum, partisipasi di dalam demokrasi membutuhkan dana yang besar. Biaya besar ini digunakan untuk kampanye. Dalam konteks inilah tentu saja harus ada kesepakatan antara penguasa dan pengusaha. Bantuan dari pengusaha tentu punya maksud tertentu, bisa berupa jaminan terhadap bisnis ataupun mendapatkan bisnis baru berdasarkan kebijakan dari pemerintah itu sendiri.

Walhasil, sistem demokrasi kemudian melahirkan negara korporasi. Ciri utamanya adalah melayani kepentingan perusahaan (bisnis) daripada rakyat. John Perkins di dalam bukunya Confession of an Economic Hit Man, menyebutnya sebagai corporatocracy. Intinya demokrasi yang menjadi penopang kekuasaan perusahaan-perusahaan AS untuk mengambil kekayaan suatu negeri seperti di Indonesia. Sedangkan para penguasa negeri ini juga sudah menyerahkan dirinya untuk di atur dan dijadikan alat kepentingan korporasi nasional maupun internasional.

Teori Huntington mengenai demokrasi, memerlukan prasyarat yang bertolak belakang dengan kesejahteraan. Menurut Huntington, dalam upaya mencapai demokrasi diperlukan prasyarat yaitu :

  1. Diperlukannya suatu kemakmuran eknomi dan diharuskannya sebuah persamaan yang tinggi.
  2. Struktur sosial yang kondusif
  3. Lingkungan luar yang terus mempengaurhi terjadinya demokratisasi
  4. Budaya yang mendukung.

Dalam teori ini justru demokrasilah yang membutuhkan kesejahteraan, bukan sebaliknya. Jadi bagaimana mungkin menciptakan kesejahteraan sementara selalu berbenturan dengan kepentingan.

Berbeda jauh dengan teori dan konsep di dalam islam. Islam memberikan jaminan kesejahteraan  umum, pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis bagi semua warga negara tanpa kecuali, tanpa memandang suku maupun agama. Termasuk tidak memandang status sosial apakah kaya atau miskin. Islam memrintahkan negara untuk menjamin kebutuhan kolektif masyarakat.

Dengan jaminan tersebut, juga sudah dapat dipastikan dijamin oleh negara dengan alokasi pendanaan yang jelas, tanpa perlu memandang lagi persetujuan wakil rakyat yang sarat dengan kepentingan. Dan juga perlu diperhatikan sumber pendaan bagi negara tidak bertumpu pada pajak dan utang sebagaimana dalam sistem demokrasi, namun dapat diperoleh salah satunya dengan pengelolaan sumber daya alam, dan tidak menyerahkannya kepada korporasi (corporate). Sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyat.

Baca Juga:  Batalkan RUU HIP, Jokowi Berani Lawan PDIP?

Berapa potensi sumber daya alam Indoensia? Menurut salah seorang pengamat, potensi sumber daya alam di Indonesia dapat menghasilkan  Rp 100 ribu triliun. Itupun dengan adanya kerjasama Indonesia dengan sejumlah investor asing dalam penggalian SDA tersebut, kekayaan Indonesia ditaksir mencapai Rp 100 ribu triliun dengan asumsi porsi pembagian rata sebesar 50:50. Jika berangkat dari asumsi tersebut, porsi 10% yaitu sebesar 10 ribu triliun dari total SDA yang menjadi hak Indonesia yang bisa diwujudkan dalam bentuk uang akan mampu melunasi utang dan membangun sejumlah sarana infrastruktur di seluruh Indonesia termasuk meningkatkan kesejahteraan.

Namun memang proyeksi tersebut tidak bisa langsung diwujudkan saat ini juga. Tugas pertama yang harus dilakukan pemerintah untuk menjaga kedaulatan SDA Indonesia adalah mengubah Undang-Undang yang berkaitan dengan kepemilikan kekayaan negara, dan inilah yang dikehendaki oleh islam. Sementara saat ini para korporasi mengagunkan di bank untuk mendapatkan pendanaan. Dan dalam islam tidak lagi istilah agunan berbasis ribawi. Wallahu a’lam

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan