Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam/ Dosen dan Pengamat Politik

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memutuskan untuk membebaskan sekitar lebih 30.000 ribu narapidana dengan alasan untuk mencegah penularan Corona Covid-19. Usai membebaskan lebih 30.000 ini, ia mengusulkan agar napi kasus korupsi dibebaskan. Atas kebijakan dan usulan itu, politikus PDIP itu pun di-bully. Yasonna pun kembali menjelaskan pembebasan napi itu demi mengurangi lapas dan rutan yang kelebihan muatan serta menghindari penyebaran Covid-19.

Pembebasan lebih 30.000 napi itu berdasarkan Peraturan Menteri Hukum danHAMNomor 10 Tahun 2020. Lalu, Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi. Yasonna bilang hampir seluruh negara memberlakukan hal serupa untuk menghindari dampak membahayakan Corona.

Yasonna juga mengatakan bahwa kebijakannya ini memang menuai banyak kritikan. Namun, dia meminta jangan sampai ada provokasi dan tudingan yang tidak benar terhadapnya. Menurut Yasonna, ini semua dilakukan atas dasar kemanusiaan bukan karena hal lain. Jika ada yang tak sependapat, maka dinilai telah tumpul rasa kemanusiaannya dan tidak paham sila ke-2 Pancasila. (vivanews.com. 07/04/2020)

Posisi pejabat di rezim jilid II Pemerintahan Jokowi memang terlihat sangat pemberani.  Sebab, para pejabat khususnya dijajaran kementerian adalah orang-orang yang sangat pintar dan cekatan. Namun sayangnya tidak digunakan dalam hal kebenaran dan keadilan. Andai ilmu yang mereka miliki betul-betul dipergunakan untuk mengurus rakyat, maka akan menjadi amal saleh.

Kebijakan yang diambil oleh Kemenkuham Yasonna Laoly tersebut tentu mengundang kontroversi bukan cuma dari rakyat, bahkan dari para pakar hukum.  Kebijakan yang nyeleneh dan dibuat-buat sesuka hati. Meskipun Yasonna mengatakan kebijakan membebaskan para napi adalah mengikuti negara-negara maju, apakah Indonesia sama kondisinya dengan negara yang dicontoh?  Tidak bisakah Yasonna jujur melihat situasi negeri?

Baca Juga:  Wabah Corona Merambah Daerah

Yasonna justru menggunakan jurus ampuh untuk membungkam kalangan yang kontra terhadap kebijakan pembebasan napi tersebut dengan memakai tafsir Pancasila sila ke dua dan nilai-nilai HAM. Jurus maut yang terus dikeluarkan jika ada yang kritis dan aktif memberikan nasehat.  Pertanyaannya adalah sudah tepatkah Yasonna menggandeng Pancasila dan nilai HAM dalam mengambil kebijakannya tersebut? Untuk menjawabnya, perlu dilakukan analisis sebagai berikut.

Pertama, alasan awal pembebasan napi disampaikan dalam rangka menghindari penyebaran covid19.  Sebab kondisi membludak di penjara dianggap dapat memberikan sumbangan penyebaran virus terhadap sesama Napi. Alasan ini sungguh tidak berdasar. Sebab sejatinya Napi di penjara dan otomatis sudah di lockdown dari dunia luar. Tentu upaya pencegahan lebih mudah dan efektif.

Kedua, pembebasan Napi kini telah menjadi masalah baru lagi. Mereka yang telah dibebaskan langsung beraksi melakukan kejahatan di masyarakat. Sebab apa?  Mereka keluar dari penjara tidak punya pekerjaan. Sementara jika mereka adalah kepala rumah tangga, tentu berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Apalagi disituasi pandemi, siapa yang mau memberikan pekerjaan? Malah PHK yang meningkat.

Ketiga, Yasonna mengatakan bahwa yang menentang kebijakan pembebasan Napi tersebut adalah ketidakpahaman terhadap Pancasila, sila ke 2. Lagi-lagi, Pancasila dibawa-bawa dan ditafsirkan sesuai kepentingan yang bersangkutan. Dibutir berapa ada menjelaskan tentang kebolehan membebaskan Napi? Pasal ke 2 adalah kemanusiaan yang adil dan beradab.

Baca Juga:  Indonesia Raja Impor, Pendapatan Rakyat Semakin Kendor!

Yasonna bicara keadilan, tetapi berat sebelah. Napi koruptor dan lainnya diusulkan keluar, tapi Napi yang tidak terbukti kriminal diabaikan. Apakah Yasonna berlaku adil terhadap tahanan Abu Bakar Ba’asyir?  Siti Fadilah Supari?  Bahar Smith?  Lebih jahatkah dari perampok uang negara dan pembunuh?  Inikah tafsir sila ke -2 Menkumham?

Keempat, Kemenkumham juga membawa-bawa dalil nilai-nilai HAM. HAM yang bagaimana menurut Yasonna?  Apakah membebaskan Napi membiarkan mereka terinfeksi di luar dan kemudian berbuat kriminal lagi adalah nilai HAM?  HAM untuk siapa yang dibicarakan Yasonna?  Baik bagi Napi dan rakyat, justru tercederai hak-haknya. Hak sehat bagi Napi, dan hak aman bagi rakyat.

Rezim hari ini telah kelihatan bobroknya dengan selalu bersembunyi dibalik Pancasila yang mereka tafsirkan sendiri  sesuka hati. Dan Pancasila hanya benar jika rezim dan jajarannya yang menyampaikan. Rakyat harus patuh dan tunduk pada tafsir suka-suka rezim.

Begitulah penafsiran HAM ala Yasonna sebagaimana yang dipahami oleh Barat. Pada dasarnya, tafsir HAM yang dipakai oleh demokrasi Barat adalah rancu. Serta bermakna ganda (double standar). Disatu sisi bicara HAM untuk sebelah pihak, namun mencederai pihak lain. Dan sesungguhnya HAM standar demokrasi Barat adalah bathil. HAM hanya kedok menutupi ketidak adilan dan ketidakberpihakan demokrasi terhadap kebenaran yang datang dari sisi lain, apalagi dari Islam.

Baca Juga:  Menjadi Muslim Berarti Anda Tidak Aman dari China

Mempertahankan pandangan HAM Barat sekuler untuk menyelesaikan masalah hanya akan menambah masalah baru. Dan kebenarannya adalah,  nilai-nilai HAM yang dianut negeri ini adalah nilai HAM barat yang selalu memberikan solusi tambal sulam terhadap permasalahan apapun. Tidak akan pernah tuntas dengan sempurna. Baik solusi praktis apalagi sistematis.

Sangat berbeda dengan Islam. Islam memandang hak-hak kemanusiaan sesuai garis fitrahnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak dan kewajibannya dalam menjalani kehidupan telah diatur dalam syariah Islam. Begitu juga negara dalam perspektif islam, memiliki kewajiban yang menjadi hak bagi rakyat untuk mendapatkannya. Dan suatu dosa besar jika negara lalai dalam memenuhi hak-hak rakyat nya.

Penguasa tidak perlu mengeluarkan tafsirnya tentang hak-hak kemanusiaan. Sebab syariah Islam itu sendiri adalah jawaban hak-kewajiban yang kompeten dan komprehensif bagi manusia. Ketika Islam diterapkan secara totalitas, maka akan terasa nyata pemberlakuan hak-hak bagi kemanusiaan dalam bernegara dan tidak akan berat sebelah. Sebab hukum Islam adalah hukum Allah, dan hukum yang seadil-adilnya.    Saatnya Indonesia memperjuangkan haknya sebagai bagian dari bumi Allah untuk diatur dengan aturan Islam. Dengan demikian, keberkahan hidup untuk negeri ini akan terwujud dan tidak akan ada pelaksanaan HAM yang tumpang tindih. Wallahu A’lam bissawab.

*Tulisan ini adalah ‘Surat Pembaca atau Opini‘ kiriman dari pembaca. IDTODAY.CO tidak bertanggung jawab terhadap isi, foto maupun dampak yang timbul dari tulisan ini. Mulai menulis sekarang.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan