Menjelang pensiun, Presiden Jokowi meninggalkan masalah serius yakni tajamnya ketimpangan ekonomi. Terkuak dari data LPS bahwa jumlah tabungan di atas Rp5 miliar naik menjadi 9,6 persen (yoy) per Maret 2023. Angkanya setara Rp4.280 triliun.

Ekonom muda, Bhima Yudhistira menyebut, potret tabungan yang dirilis Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu, jelas menggambarkan ketimpangan ekonomi yang nyata. Jumlah tabungan di atas Rp5 miliar pada Maret 2023 senilai Rp4.280 triliun (tumbuh 9,6 persen), jauh di atas data Januari 2022 yang mencapai Rp3.809 triliun.

Tiap tahun, menurut LPS, jumlah tabungan di atas Rp5 miliar tumbuh 20 persen. Sementara, tabungan di bawah Rp100 juta per Maret 2023, hanya tumbuh 3,6 persen (yoy). Artinya, tabungan orang kaya semakin gemuk saja. “Menunjukkan ketimpangan yang nyata,” tuturnya.

Pemilik tabungan yang nominalnya di atas Rp5 miliar, tentu saja hanya orang kaya. Saat pandemi COVID-19 pada 2020-2021, mereka pandai menyimpan aset ke instrumen keuangan yang aman dan cuan. Agar terhindar dari berbagai risiko krisis ekonomi. “Mereka investasikan duitnya ke imbal hasil yang bagus. Mereka raup profit yang cukup tinggi, misalnya sektor kesehatan,” ungkap Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) itu.

Masih kata Bhima, orang kaya, secara struktural bekerja atau punya saham di perusahaan yang berbasiskan komoditas atau sumber daya alam. Pada 2021-2022, harga batu bara dan CPO meroket, otomatis, aset orang kaya itu naik signifikan.

Selain itu, lanjut Bhima, kelompok kaya cukup dimanjakan dengan berbagai insentif atau kebijakan yang berpihak kepada mereka. Misalnya, insentif subsidi untuk membeli mobil listrik. “Masih ada lainnya, misalnya, fasilitas perpajakan untuk orang kaya, sementara menengah-bawah, bantuan sosialnya dicabut. Yakni. subsidi upah disetop, banyak stimulus untuk kelas menengah yang tidak dilanjutkan. Ini semakin menekan kelas menengah ke bawah,” jelas Bhima.

Baca Juga:  Menurut Bahlil, Capres Tak Merapat ke Jokowi Bakal Kalah

Padahal, kata Bhima, beban kelompok menengah-bawah, sudah berat sejak Presiden Jokowi menaikkan harga BBM pada 3 September 2022. Semakin berat ketika harga pangan naik sebagai dampak naiknya harga BBM. “Orang-orang menengah-bawah juga harus menanggung beban inflasi, dampak dari kenaikan harga pangan dan BBM. Sehingga daya beli mereka mengalami tekanan yang signifikan. Butuh waktu yang lebih lama bagi menengah-bawah untuk pulih,” tuturnya.

Sementara orang kaya, lanjut Bhima, daya belinya sangat kuat. Hanya saja mereka menahan belanja karena duitnya digunakan untuk investasi yang aman dan cuan. “Hal inilah yang membuat ketimpangan ekonomi pasca pandemi semakin lebar,” tandasnya.

Satu hal lagi, lanjut Bhima, masalah pengangguran yang menurut data Badan pusat Statistik (BPS) hampir 8 juta orang per Februari 2023. “Saat ini, orang kaya tidak perlu capek-capek cari kerja, atau peras keringat. Karena, uang bekerja untuk orang kaya. Sementara orang miskin, harus berjuang dengan jutaan angkatan kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,” ungkapnya.

Celakanya, lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini adalah sektor informasl. Yang jaring pengamannya sangat rendah, karena tak ada pensiun atau lembur. “Nah ini semua membuat ketimpangan melebar. Ini pemulihan yang tidak merata. Hanya untuk mereka yang punya akses kepada kekuasaan dan sumber daya alam,” pungkasnya.

Sumber: inilah.com

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan