Penyebaran virus corona baru di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Bahkan dapat dikatakan, Indonesia terlambat untuk melakukan penanganan Covid-19.
Pada awal Mei, Indonesia melaporkan kuang dari 12.000 kasus Covid-19 dengan sekitar 865 kematian. Namun pada akhir Mei, angka tersebut berlipat ganda. Pada Sabtu (30/5), pemerintah melaporkan 25.773 kasus Covid-19 dengan 1.573 kematian.
Dalam sebuah artikel berjudul “‘It’s Too Late’: In Sprawling Indonesia, Coronavirus Surges”, New York Times (NYT) mengungkapkan kekhawatiran akan penyebaran virus corona baru di beberapa daerah di Indonesia, di antaranya adalah Maluku dan Surabaya.
Hingga artikel tersebut dirilis pada Kamis (28/5), jumlah kasus Covid-19 di Maluku sudah mencapai 1.340, sejak dilaporkan pertama kali pada pertangehan Maret.
Sementara itu, Surabaya sendiri memiliki 4.313 kasus yang secara resmi dikonfirmasi pada hari yang sama.
Yang membuat miris adalah, dari hasil pengambilan sampel acak terhadap 11.555 orang di Surabaya pada pekan lalu, sebanyak 10 persen di antaranya dilaporkan memiliki antibodi untuk virus corona baru (SARS-CoV-2).
Namun dengan angka-angka yang mengkhawatirkan tersebut, pemerintah sudah memperkenalkan relaksasi, pelonggaran pembatasan sosial demi menyelamatkan ekonomi.
“Jika orang tidak makan dan mereka sakit, itu akan lebih buruk,” dalih Presiden Joko Widodo dalam sebuah briefing media.
Dengan new normal atau yang saat ini diperkenalkan dengan Adaptasi Kehidupan Baru (AKB), para pakar kesehatan masyarakat khawatir sistem perawatan kesehatan Indonesia yang tidak sekuat Amerika Serikat dan Eropa akan runtuh.
Yang lebih buruk, lebih dari setengah kematian akibat Covid-19 di Indonesia justru dialami oleh kelompok usia di bawah 60 tahun. Sedangkan di AS, kematian lebih besar dialami oleh para lansia. Itu berarti, rumah sakit Indonesia belum mampu memberikan “perawatan penyelamatan hidup” yang cukup.
Seiring dengan usainya bulan Ramadhan dan dilakukannya relaksasi, para ahli epidemologi memperkirakan, Indonesia akan mengalami lonjakan kasus pada bulan depan, yaitu Juni.
“Bencana masih akan datang,” ujar ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono.
“Bahkan setelah berbulan-bulan, kita masih memiliki pemimpin yang percaya pada keajaiban daripada ilmu pengetahuan. Kita masih akan memiliki kebijakan yang mengerikan,” tambahnya.
Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia ternyata memiliki tingkat pengujian yang terburuk di antara 40 negara yang paling terpengaruh oleh virus.
Hanya 967 tes yang dilakukan untuk setiap 1 juta orang di Indonesia. Sementara AS memiliki 46.951 tes untuk setiap 1 juta orangnya.
Orang Tanpa Gejala (OTG) juga menjadi kasus yang cukup sering terjadi dan sangat berisiko tinggi. Tanpa mereka sadari, mereka sudah menyebarkan virus kepada orang lain, termasuk yang berasal dari kelompok rentan.
Jika kilas balik, Indonesia baru melaporkan kasus Covid-19 pertamanya pada awal Maret. Sementara Malaysia dan Singapura sudah melaporkan kasus pertama pada akhir Januari.
Dalam rentang waktu tersebut, beberapa rumah sakit, terutama di Jawa, sudah mencatatkan kasus pneumonia dengan gejala yang mirip dengan Covid-19. Namun pemerintah terus menolak.
Pada akhirnya, Indonesia sudah terlambat untuk bisa mengendalikan penyebaran virus. Seharusnya, pemerintah Indonesia sejak awal tidak mempersepsikan diri “kebal” terhadap virus corona.
Sumber: rmol.id