Pemerintah sudah mengantisipasi gelombang mudik lebaran Idul Fitri demi mencegah penularan wabah corona kian meluas. Aneka skenario disiapkan, mulai dari peniadaan program mudik bareng secara gratis, rencana penutupan jalur-jalur mudik, penetapan periode larangan mudik, sampai pemberian sanksi bagi yang melanggar dan hadiah bagi yang patuh pada anjuran pemerintah.
Sayangnya ada yang luput diantisipasi: mencuri start mudik. Puasa saja belum, bahkan masih sebulan lagi, tapi ribuan perantau di Jakarta dilaporkan mulai berbondong-bondong pulang kampung ke sejumlah daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Tak ada yang dapat mencegah. Lagi pula itu hak mereka. Para perantau itu bukannya tak mau mematuhi anjuran pemerintah, tetapi mereka sudah hampir dua pekan tak bekerja dan, karenanya, tak ada lagi pendapatan untuk tetap bertahan di Ibu Kota akibat kebijakan pembatasan interaksi (social distancing atau physical distancing). Kegiatan ekonomi lumpuh. Mereka juga tak tahu kapan wabah Covid-19 mereda.
Bom waktu
Kementerian Perhubungan melaporkan bahwa gelombang pemudik dini terjadi sejak 20-22 Maret, bahkan sebagian lagi sebelum itu. Terminal-terminal utama di luar Jakarta mulai kedatangan banyak penumpang yang sebagian besar dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Tak terhindarkan lagi, daerah-daerah mulai melaporkan peningkatan jumlah Orang dalam Pemantauan (ODP) Covid-19. Mereka yang datang dari Ibu Kota dan sekitarnya mesti diperiksa dan dipantau kesehatannya, terutama karena lebih dari separuh jumlah penderita terinfeksi corona di Indonesia terdeteksi di Jakarta. Setiap orang yang datang dari Jakarta dan sekitarnya berpotensi membawa virus itu ke daerah.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengingatkan, makin banyak warga yang datang dari luar kota, kian banyak pula orang yang termasuk dalam daftar ODP dan harus diperiksa. Sementara jumlah alat pemeriksaan cepat (rapid test) secara massal amat terbatas, dan alat yang tersedia pun diprioritaskan untuk mereka yang wajib diperiksa, misal, orang-orang yang terlacak pernah berkontak dengan pasien positif terinfeksi Covid-19.
Kedatangan orang-orang dari Jakarta ke daerah-daerah tidak hanya meningkatkan jumlah ODP, tetapi sekalian berpotensi memperburuk situasi. Sejumlah ahli seperti Kepala Lembaga Biologi Molekuler Prof Amin Soebandrio memperkirakan jumlah kejangkitan Covid-19 di Indonesia akan mencapai puncaknya pada pertengahan April; jumlahnya bisa 2.000 orang atau lebih.
Data kasus Covid-19 di Indonesia yang dimutakhirkan pada 27 Maret akan membuktikan perkiraan Soebandrio: jumlah terinfeksi sudah 1.046 orang dan 87 orang di antaranya meninggal dunia.
Taksiran Soebandrio hanya dihitung kalau semua skenario pengendalian wabah corona, termasuk pembatasan interaksi sosial, berjalan lancar. Faktor gelombang mudik lebih dini belum dimasukkan dalam komponen taksiran. Artinya, pergerakan orang dari Jakarta ke daerah-daerah dalam masa-masa sekarang ibarat bom waktu yang ledakannya tak dapat dicegah lagi.
Daerah-daerah yang ditetapkan sebagai zona merah, seperti dikhawatirkan Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati, akan bertambah banyak seiring arus mudik lebih awal. Akibatnya lagi, upaya memutus rantai penularan corona bakal berantakan.
Sanksi dan hadiah
Salah satu yang dikhawatirkan oleh pemerintah jika situasinya terburuk ialah rumah sakit-rumah sakit di daerah tak sanggup menampung lonjakan pasien dan para tenaga medisnya kewalahan. Rumah sakit-rumah sakit rujukan untuk pasien corona di Jakarta, seperti RSPI Sulanti Saroso dan RSUP Persahabatan, mulai kewalahan setelah pasien-pasien baru bertambah. Pemerintah sampai menjadikan gedung Wisma Atlet sebagai Rumah Sakit Darurat Covid-19.
Ikatan Dokter Indonesia sudah mengingatkan bahwa lonjakan jumlah pasien bukan hanya isyarat buruk bagi masyarakat, melainkan juga para tenaga medis terutama dokter dan perawat. Merekalah yang paling rentan tertular corona, apalagi tak terlindungi dengan baik, misalnya, dengan alat pelindung diri yang memadai.
Pemerintah sedang mengkaji kemungkinan menerbitkan peraturan larangan mudik, alih-alih sekadar imbauan. Kalau perlu sekalian dibuat sanksi tegas bagi yang melanggar dan penghargaan atau hadiah bagi yang tidak mudik. Kementerian Perhubungan berharap peraturan itu segera diputuskan agar lembaga-lembaga yang terkait dapat segera bertindak, sebab situasinya sekarang ibarat berkejar-kejaran dengan waktu.
“Kalau ada keputusan tegas dilarang,” Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi, “saya sudah sepakat dengan Polri dan TNI, minimal akan kita lakukan penutupan di pintu-pintu keluar [DKI Jakarta dan sekitarnya].”
Meski begitu, pandangan agak berbeda disampaikan juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto. Dia bilang tak apa mudik asalkan tiap orang bisa disiplin menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak antarorang untuk mencegah penularan. “Jangan dekat-dekat, physical distance, itu pondasi dasarnya.” Namun, tak ada yang menjamin setiap orang bakal bisa disiplin, apalagi dengan sekadar imbauan atau anjuran. (ase)
Penulis: Mohammad Arief Hidayat
Sumber: vivanews.com