Fraksi PKS: UU Cipta Kerja Reduksi Peran DPR

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto.(Foto: dpr.go.id)

IDTODAY.CO – Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto menanggapi pernyataan anggota DPD RI Jimly Asshiddiqie yang menyebut proses demokrasi dibajak selama pandemi Covid-19. Bahkan, sangat mungkin apabila terjadi diktator konstitusional.

Mulyanto mengaku sependapat dengan pandangan Jimly “Secara umum saya setuju dengan pandangan Prof Jimly tentang pembajakan demokrasi melalui pandemi Covid-19 ini. Kita merasakan pembajakan itu faktual,” ujar Mulyanto sebagaimana dikutip dari SINDOnews, Senin (26/10/2020).

Baca Juga:  Ada Pembakaran Bendera PDIP, Dewi Tanjung Minta Semua Petinggi 212 Yang Ikut Aksi Demo Di Depan Gedung DPR RI Ditangkap

Menyentuh kemudian membeberkan alasannya, yakni dalam kasus Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Covid-19 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. “Dalam Perppu ini kan terjadi reduksi peran DPR terutama dalam fungsi anggaran,” urainya.

Kemudian, prioritas anggaran dialokasikan menjadi kewenangan eksekutif dari asalnya dilaksanakan DPR.  “Belum terkait pasal imunitas pejabat pelaksana UU tersebut, yang tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana,” katanya.

Baca Juga:  PKS Kritik Pemerintah Soal Penanganan Covid-19: RI Butuh Pemimpin yang Turun Tangan Menyelesaikan Persoalan di Lapangan

Lebih lanjut, beberapa kasus dalam Omnibus Law UU Cipta kerja. “Atas nama penanggulangan dampak ekonomi Covid-19, pembahasan RUU ngebut tidak kenal waktu libur dan waktu reses, meski pembahasan dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan yang sarat keterbatasan,” sambungnya.

Terkait hal tersebut, Mulyanto menegaskan bahwa pembahasan UU Cipta kerja terkesan ugal-ugalan dan tidak berjalan secara maksimal. Bahkan, aspirasi publik tidak dapat terserap dengan baik. “Pindah-pindah hotel dan disahkan menjelang tengah malam,” ujarnya.

Baca Juga:  Soal Hilangnya Pasal Dalam UU Cipta Kerja, Peneliti: Saya Menduga Itu Pasal Selundupan

Alhasil, UU Cipta kerja di sahkan tanpa tanda tanpa dokumen final yang ditandatangani dan mengalami perubahan berulang kali.

“Lalu terjadi gonta-ganti naskah hampir lima kali, penambahan pasal, pencabutan pasal, koreksi redaksional dan typo. Itu dilakukan pascapengesahan,” pungkasnya.[sindonews/brz/nu]

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan