Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, menyampaikan kritik atas sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ikut cawe-cawe Pilpres 2024. Ia melihat, itu dilakukan dalam rangka mengamankan diri setelah lengser.

Denny merasa, target utama Jokowi sebisa mungkin cuma ada dua paslon di 2024 yang keduanya merupakan ‘all president’s men’. Karenanya, calon yang diidentifikasi berseberangan sebisa mungkin dieliminasi sejak awal.

Mantan Wamenkumham ini mengatakan, setidaknya ada 10 strategi yang dijalankan Jokowi. Satu, mempertimbangkan opsi menunda pemilu sekaligus memperpanjang masa jabatan presiden. Pandemi dijadikan salah satu pintu.

Dua, muncul ide mengubah konstitusi guna memungkinkan lebih dari dua periode. Tiga, menggunakan KPK dalam rangka merangkul kawan dan memukul lawan. Empat, memanfaatkan kasus hukum sebagai nilai tawar politik.

“Ada tahanan luar KPK, beberapa pimpinan partai yang tersandera dugaan kasus korupsi dan digunakan presiden untuk meningkatkan daya tawarnya, itu menjadi bargaining power untuk melakukan positioning koalisi dan siapa yang jadi paslon capres dan cawapres,” kata Denny, Selasa (9/5/2023).

Lima, pimpinan parpol yang tidak sejalan diintervensi. Ia menuturkan, ada satu pergantian ketua umum partai politik yang tidak melalui proses sesuai ad art dan setelah dikonfirmasi terkait pula Anies Baswedan.

Baca Juga:  Gerindra soal PKS Ingin Anies-Sandi Duet Lagi: Konsultasi Dulu ke Prabowo

“Ada satu partai yang saya tanya kepada kader utamanya kenapa pimpinan diganti, jawabannya cukup mengagetkan, pertama ada persoalan domestik yang kedua karena empat kali ketahuan bertemu Anies Baswedan,” ujar Denny.

Enam, menyiapkan komposisi hakim MK sebagai antisipasi dan memenangkan sengketa. Tujuh, tidak cukup mendukung Ganjar, mendukung pula Prabowo. Delapan, opsi untuk membuat Anies tersangka dalam kasus Formula E.

Sembilan, merebut Partai Demokrat melalui Moeldoko. Padahal, ia merasa, kalau Jokowi mau Moeldoko yang merupakan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) bisa dengan sangat mudah menghentikan ambisinya mencuri Partai Demokrat.

Baca Juga:  Yes! Gubernur DKI Jakarta Hapus Denda Administrasi Dan Pangkas Pajak Daerah Selama Darurat Corona

“Kalau ini dibiarkan, berarti Presiden Jokowi membiarkan tindak pidana pencopetan partai,” kata Denny.

Terakhir, yang menyempurnakan yaitu berbohong kepada publik. Denny menambahkan, Presiden Jokowi yang berulang kali menyatakan kalau capres urusan ketum, bukan urusannya, malah menginisiasi koalisi besar.

“Presiden Jokowi ke luar dari rambu konstitusi untuk menjadi wasit yang netral dalam pemilu. Dalam pemilu, pejabat negara, apapun posisinya, presiden, gubernur, bupati, wali kota, semua harusnya dalam posisi yang netral,” ujar Denny.

Sumber: republika

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan