Presiden Joko Widodo atau Jokowi melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, kembali menaikkan Iuran BPJS Kesehatan.
Penaikan iuran itu tak tanggung-tanggung, mencapai hampir 100 persen untuk Kelas I dan Kelas II.
Sementara untuk Kelas III, penaikannya dilakukan bertahap.
Penaikan iuran BPJS Kesehatan ini bukan pertama kali dilakukan oleh Jokowi.
Sebelumnya, lewat Perpres 75 Tahun 2019, Jokowi juga sempat menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Ketika itu salah satu alasan penaikan iuran adalah untuk menutup defisit yang dialami BPJS Kesehatan.
Pada 2018, defisit yang dialami badan menyelenggarakan jaminan Kesehatan Nasional itu mencapai Rp19,4 triliun.
Sementara tahun 2019 defisit BPJS Kesehatan disebut mencapai Rp 32,8 triliun.
Namun, hanya beberapa bulan setelah Perpres itu terbit, Mahkamah Agung membatalkannya dan mengembalikan iuran BPJS Kesehatan kembali seperti semula, yakni sebesar Rp 25.500 untuk kelas III, Rp 51 ribu untuk kelas II, dan Rp 80 ribu untuk kelas I.
Kini, keputusan Jokowi kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan tak ayal menuai pro-kontra.
Dengan Perpres Nomor 64 Tahun 2020, Jokowi dinilai telah mengabaikan putusan Mahkamah Agung.
”Kalau dilarang oleh Mahkamah Agung dalam putusannya karena sifat putusannya final dan mengikat, maka tidak boleh dan tidak patut Presiden mengabaikan putusan itu,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari.
”Apalagi harus diingat karena sifatnya yang mengikat itu jangan sampai Presiden terpaksa mengakali putusan itu dengan dia ‘ya sudah, sebelumnya sudah dibatalkan, ini yang baru’, jangan begitu,” kata Feri.
Hal senada disampaikan anggota Komisi IX DPR Kuniasih Mufidayati.
Ia menilai Jokowi telah mengabaikan putusan Mahkamah Agung soal iuran BPJS Kesehatan.
“Penerbitan Perpres ini bukan pelaksanaan amar putusan Mahkamah Agung, di mana apa yang diperintahkan oleh Mahkamah Agung untuk dilaksanakan tetap belum dilaksanakan,” kata Kurniasih.
Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto beralasan penaikan iuran BPJS bertujuan untuk menjaga keberlanjutan BPJS Kesehatan itu sendiri.
“Sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan, ini adalah untuk menjaga keberlanjutan BPJS Kesehatan. Namun, tetap ada iuran yang disubsidi pemerintah,” ujar dia dalam konferensi video, Rabu (13/5/2020).
Mahkamah Agung sendiri enggan mengomentari Perpres yang baru dikeluarkan Jokowi ini.
Juru Bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro mengatakan, penaikan iuran BPJS merupakan kewenangan pemerintah.
“Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan tidak akan menanggapi, sebab hal tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah,” kata Andi saat dihubungi, Rabu (13/5/2020).
Namun jika mengacu pada putusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung pada 27 Februari 2020 lalu, yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019, Pemerintah semestinya tidak boleh menaikkan iuran dengan alasan untuk menutup defisit yang dialami BPJS Kesehatan.
Dalam salah satu pertimbangan putusannya dengan nomor registrasi 7 P/HUM/2020 itu, Mahkamah Agung menyebut bahwa defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan tidak boleh dibebankan kepada masyarakat dengan menaikkan iuran bagi peserta.
Apalagi dalam kondisi ekonomi global saat ini yang sedang tidak menentu.
Mahkamah Agung menilai defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan selama ini lebih disebabkan karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS.
Selain itu, kata Mahkamah Agung, ada akar masalah yang terabaikan yaitu manajemen atau tata kelola BPJS secara keseluruhan.
Inilah yang seharusnya dibenahi.
Majelis hakim Mahkamah Agung yang terdiri dari Yosran, Yodi Martono Wahyunadi, dan Supandi itu , SH., kemudian memaparkan kondisi BPJS Kesehatan mengutip hasil audit BPKP dalam rapat di DPR.
Salah satunya ialah keuangan BPJS yang selalu defisit setiap tahun sehingga sulit membayar utang ke rumah sakit.
Hal itu membuat rumah sakit sulit menjalankan operasionalnya, seperti membeli obat, membayar dokter, dan sebagainya.
Kondisi lainnya termasuk data peserta yang tak konsisten, manajemen dan perhitungan tidak dilakukan dengan baik, hingga menunggaknya peserta dalam membayar iuran.
Menurut hakim, kondisi-kondisi itu disebabkan beberapa hal.
Salah satunya karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan.
“Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Agung, kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial Kesehatan, tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan iuran,” demikian bunyi pertimbangan hakim.
Mahkamah Agung menyatakan kesalahan dan kecurangan (fraud) pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS tersebut harus dicari jalan keluarnya, namun tanpa harus membebankan masyarakat untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan.
Sementara itu Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang dulu mengajukan uji materi Perpres Nomor 75 Tahun 2019 ke Mahkamah Agung, mengaku akan kembali mengajukan uji materi terhadap Perpres Nomor 64 Tahun 2020.
“KPCDI akan kembali mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung atas Perpres tersebut. Saat ini KPCDI sedang berdiskusi dengan Tim Pengacara dan menyusun materi gugatan,” kata Ketua Umum KPCDI, Tony Samosir, saat dihubungi, Rabu (13/5/2020).
Menurut Tony, KPCDI menyayangkan sikap pemerintah yang telah menerbitkan peraturan tersebut di tengah situasi krisis wabah virus corona di Indonesia.
Walaupun ada perubahan jumlah angka kenaikkan, kata dia, perubahan itu masih dirasa memberatkan masyarakat apalagi di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu saat ini.
“KPCDI menilai hal itu sebagai cara pemerintah untuk mengakali keputusan Mahkamah Agung tersebut,” kata Tony.
Sumber: tribunnews