Polemik Surat Telegram Kapolri Terkait Pidana Penghina Presiden Dan Pejabat Pemerintah Di Tengah Wabah Corona

Presiden Jokowi menyalami Kapolri Jenderal Pol Idham Azis usai pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Jumat (1/11/2019). (Foto: Antara/Puspa Perwitasari).

IDTODAY.CO – Surat Telegram Kapolri tentang pedoman pelaksanaan tugas dan fungsi reserse kriminal (Reskrim) nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020. Terus mendapat kecaman dari berbagai pihak karena dianggap ‘memperkosa’ kebebasan dan hak sipil.

Surat tersebut berisi kebijakan sepihak Kepolisian Republik Indonesia kaitanya dengan upaya penanggulangan virus Corona. terutama terkait pasal penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintahan selama penanganan Corona akan dijerat dan dihukum antara 1 sampai 3 tahun penjara.

Amnesty Internasional Indonesia menyoroti isi surat telegram Kapolri tersebut karena terkesan seenaknya sendiri dalam memberikan kebijakan terkait kekuasaan menjalankan peran sebagai abdi negara selama penanganan Corona. Hal itu disampaikan oleh Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid dengan meminta polri untuk merevisi atau diadakan aturan yang memegang hak dan kebebasan rakyat sipil.

Surat telegram itu berisi amanat petugas kepolisian untuk memegang teguh Pasal 14, dan 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Telegram itu meminta kepolisian berpedoman pada Pasal 45 A  ayat (1), Pasal 28 ayat (1) UU 11 /2008 Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Serta Pasal 96 UU 6/2018 tentang Karantina Kesehatan. Pasal 207 KUH tentang Pidana penghinaan terhadap Presiden dan juga penguasa negara.

“Aturan (telegram) tersebut membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan Polri dan penegak hukum untuk bersikap represif terhadap masyarakat,” kata Usman dalam siaran pers sebagaimana dikutip dari Republika.co.id (6/4).

Baca Juga:  Soroti Kebijakan Jokowi, Pengamat: Politik Akomodasi Merusak Demokrasi

Usman khawatir aturan tersebut akan disalahgunakan oleh Polri untuk bertindak represif dan ‘memperkosa’ hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat. mestinya, polri menjadi pelindung bagi masyarakat terutama di saat darurat Corona seperti saat ini..

“Atas nama penghinaan terhadap Presiden dan pejabat negara, telegram itu berpotensi melanggar kemerdekaan berpendapat. Amnesty mendesak pihak kepolisian dan yang berwenang menarik (membatalkan) telegram tersebut,” terang Usman.

Penerbitan telegram itu akan membatasi masyarakat untuk mengontrol dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Pasalnya, masyarakat akan merasa takut untuk memberikan komentar yang menyinggung dan nantinya dianggap menghina Presiden atau pejabat pemerintah.

“Pelaksaan telegram itu akan membuat banyak orang yang semula berniat memberikan pendapat, ataupun kritik, justru takut untuk bersuara karena diancam hukuman,” tegas Usman.

Baca Juga:  Politik Anies Nyapres di Bawah Ketiak Surya Paloh, Jokowi Merongrong?

Isman berpendapat keberadaan kritik dan saran dari masyarakat akan memberikan masukan terhadap pemerintah dalam upaya optimalisasi penanganan virus Corona.

“Tanpa saran dan kritik, pemerintah tentunya akan semakin kesulitan untuk mengetahui apa yang perlu diperbaiki dalam penanganan wabah,” tandas Usman.

Amnesty mengingatkan bahwa delik penghinaan terhadap presiden dan penguasaan negara yang tertuang dalam pasal 207 KUHP telah dihapuskan oleh MK sejak 2006 silam, karena dinilai bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945. Demikian juga, Indonesia terikat dengan Pasal 19 Konvenan Internasional tentag Hak-hak Sipil dan Politik Internasional (ICC-PR).[brz]

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan