Birokrasi Yang Tumpang Tindih

Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam/ Dosen dan Pengamat Politik

Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi mengatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan aturan resmi terkait larangan mudik. Namun, menurutnya, terkait kebijakan pelarangan ini keputusan akhirnya ada di tangan Menteri Perhubungan Ad Interim Luhut Binsar Pandjaitan yang juga menjabat Menko Kemaritiman dan Investasi. Budi Setiyadi bilang, finalisasi kebijakan masih terus dibahas bersama stakeholder terkait.

Budi juga mengatakan bahwa  di tingkat eselon 1 Kemenhub, mayoritas sudah punya pandangan senada, yakni melarang mudik. Namun lagi-lagi semua tergantung Luhut. Salah satu tokoh yang memiliki pandangan terkait pentingnya larangan mudik ini adalah Wakil Presiden ke-10 dan 12 Republik Indonesia Jusuf Kalla. Beberapa waktu lalu ia mengingatkan bahaya laten apabila mudik di tengah pandemi Covid-19.

JK juga mengasumsikan kemungkinan terjadinya penyebaran covid-19 akibat mudik ini, dimana jumlah pemudik di tanah air setiap tahunnya sebanyak 25 juta orang. Dengan kondisi sekarang, JK memisalkan sekitar 10% atau 2,5 juta yang mudik. Dewan Masjid Indonesia itu menambahkan tanpa keberadaan pemudik, kondisi desa akan berjalan normal. Kebutuhan pangan pun tetap terpenuhi. Akan tetapi, kalau desa terkena Covid-19, maka bisa mengancam ketahanan pangan.(idtoday.co.21/04/2020)

Mudik adalah aktifitas rutin yang setiap tahunnya selalu semarak terjadi di Indonesia. Bukan hal aneh jika semangat mudik bagi masyarakat tidak bisa dihentikan. Namun jika situasi tidak mengizinkan bagi masyarakat untuk melakukannya, seyogyanya memang harus saling menyadari dan mendukung untuk tidak mengambil sikap sendiri dan merasa paling benar. Sebab sikap demikian bisa memberikan dampak negatif bagi orang lain.

Seruan untuk lockdown dari awal sudah disampaikan oleh masyarakat kepada pemerintah pusat. Meskipun pada akhirnya keputusan PSBB lah yang menjadi finalnya. Baiklah, kebijakan pemerintah tetap dihargai sebagai langkah nyata yang dilakukan. Apalagi beberapa daerah sudah dinyatakan zona merah bagi penyebaran wabah. Dengan kondisi seperti itu, seharusnya tidak diperkenankan untuk keluar-masuk dari zona merah khususnya wilayah Pulau Jawa.

Baca Juga:  Makin Diserang, Anies Baswedan Makin Berkibar

Pemerintah juga sudah menyerukan agar menahan diri untuk tidak mudik tahun ini. Tetapi, realita di lapangan menunjukkan tidak semua masyarakat mengindahkannya. Bahkan pelaksana tugas di kementerian pun berseberangan dengan Presiden. Khususnya oleh Menteri Luhut Binsar Pandjaitan. Ada apa dengan Luhut? Kondisi ketidakserasian tersebut dapat dianalisis melalui poin-poin berikut.

Pertama, masyarakat masih banyak yang nekat melakukan aktivitas mudik bahkan sejak diumumkan lockdown di beberapa daerah khususnya Jawa. Hal tersebut dikarenakan masyarakat  kebingungan dengan informasi yang simpang siur dan data-data yang di suguhkan tidak seragam. Baik korban, maupun cara penyebaran virus. Sehingga masyarakat merasa semua itu adalah takdir dan terserah Tuhan saja. Bagi yang kena, kenalah yang tidak kena, bersukurlah.

Kedua, Presiden menyampaikan pidato terkait larangan mudik. Namun daerah juga tidak diizinkan melakukan lockdown tanpa persetujuan pusat.  Jika ada yang keluar-masuk dari suatu daerah akan diberlakukan sanksi karantina 14 hari. Artinya, akses ke luar masuk dari dan ke suatu daerah tidak ditutup total. Sehingga tetap bisa hilir mudik. Masyarakat akan berfikir cuma dikarantina, tidak apa-apa. Belum lagi sebagian orang yang mencari-cari rute sembunyi agar sampai ke kampung tanpa ada yang mengetahui. Atau misalnya bahkan tidak melapor. Akhirnya, daerah banyak kecolongan.

Ketiga, sikap ketidaksamaan antara Presiden dan Menteri Luhut Binsar Pandjaitan dalam hal kebijakan covid-19 telah banyak disaksikan masyarakat. Bahkan pengambilan keputusan boleh tidaknya pun mudik bukan tergantung Presiden. Melainkan Pak Luhut. Padahal Presiden dan beberapa tokoh nasional juga sudah mendukung pelarangan mudik di situasi pendemi. Namun ternyata, otoritas seorang Luhut lebih berpengaruh daripada seorang Presiden. Sungguh tidak logis.

Secara Undang undang, pengambil kebijakan final tentulah Presiden. Sebab sebagai kepala negara, ia berhak menentukan suatu kebijakan meski tanpa persetujuan para menterinya. Posisi menteri hanyalah pembantu Presiden. Mereka diberi mandat oleh Presiden untuk membantu satu tugas tertentu. Segala kebijakan dan keputusan akhir seharusnya ditangan Presiden.

Baca Juga:  Ilmu Kodok, Begitu Ingat Langsung Lompat

Presiden lah yang harus bertanggungjawab penuh dengan kondisi negara dan rakyatnya. Bahkan Presiden punya wewenang untuk memberhentikan menteri yang tidak patuh. Sebab menteri diangkat oleh Presiden. Namun kelihatannya, untuk Luhut Undang undang itu tumpul dan Presiden Jokowi tak berdaya. Kenapa bisa terjadi demikian? Bukankah sikap Luhut seolah-olah menunjukkan bahwa  Seorang Menteri lebih berkuasa dari Presiden?

Birokrasi yang dibangun dalam perspektif demokrasi memang sangat rumit. Sebab semua pejabat berhak menuntut apapun dengan dalil hak asasi dan hak berpendapat. Meskipun sudah jelas tupoksi-tupoksi kerja para pejabat kenegaraan, tetapi semua tidak ingin berada di bawah kendali siapapun. Semua merasa ingin mengendalikan. Sehingga terjadi birokrasi yang tumpang tindih. Dan pertanggungjawaban kerja juga tidak jelas lagi harus kemana dan siapa yang paling berhak menentukan keputusan.

Sebagai Kordinator kementerian yang membawahi beberapa menteri, tentu Luhut merasa besar. Apalagi kedudukan seorang Menko sejejar dengan Wapres. Sungguh rumit dan ribet memahami tata kenegaraan yang ada di negeri ini. Terlihat seperti pemborosan jabatan. Wajar saja sih, sebab jabatan juga adalah hasil bagi-bagi kue diantara para elit partpol.

Teruntuk kasus mudik, yang menjadi fokus adalah akses transportasi. Jika transportasi ditutup mutlak seperti jalan tol tentu sangat menganggu pemasukan bagi pemerintah. Sebab infrastruktur jalan–jalan tol yang dibangun adalah hasil utang luar negeri. Dan pembayarannya adalah hasil biaya masuk jalan tol yang ditagih dari rakyat. Bayangkan jika tol tutup, darimana negara akan membayar hutang pembangunan tol? Masa Luhut Pribadi mau bayar?

Selain itu, bandara dan pelabuhan sebagai tempat lalu lalang pendatang jika ditutup total, bagaimana pengusaha pesawat, kapal-kapal swasta akan mendapatkan pemasukan?  Tentu yang diharapkan adalah penumpang. Belum lagi, transaksi politik dengan beberapa negara yang berpesan agar warganya diizinkan masuk ke Indonesia meskipun disituasi darurat kesehatan seperti sekarang. Contohnya adalah China. Keakraban rezim dengan pemerintahan China dan juga kerjasama yang dikendalikan langsung oleh Luhut dengan investor China sudah bukan rahasia umum lagi. Meskipun hanya seorang Menteri tetapi urusannya terlihat lebih besar dan lebih sibuk dibandingkan Presiden. Sehingga Luhut sendiri digelari banyak pihak dengan sebutan Menteri Segala Urusan.

Baca Juga:  DPR Melecehkan Rakyat

Lahirnya birokrasi yang tumpang tindih diakibatkan penerangan ideologi kapitalis yang selalu mengejar kepentingan dan menyandera mitra kerjasama dengan perjanjian-perjanjian yang menguntungkan pihak pengusaha dan kawanannya. Dan demokrasi memberikan peluang yang begitu besar bagi kapitalis untuk melancarkan hegemoninya serta mempertahankannya. Wajah birokrasi yang dilahirkan juga sangat berbelit-belit.

Semua itu tidak perlu terjadi jika syariah Islam ditegakkan. Dalam sistem pemerintahan Islam, pertanggungjawaban kekuasaan dan kondisi negara adalah tanggung jawab penuh seorang kepala negara. Kepala negara harus memiliki ketegasan dan kecerdasan dalam memahami perundang-undangan dan juga fakta di lapangan. Sehingga para pembantunya (wuzara) tidak memiliki ruang mengatur kepala negara terlebih menekannya.

Semua akan bekerja sesuai tupoksi dan wewenang yang diberikan oleh Khalifah sebagai kepala negar. Semua amanah akan dipertanggungjawabkan kepada Khalifah. Dan Khalifah adalah orang yang paling berhak mengambil keputusan dalam situasi tersulit seperti wabah. Pendapat para ahli akan dikumpulkan lalu diambil satu kebijakan dengan stempel kepala negara dan konsekuensinya adalah semua wajib patuh.

Demokrasi yang ditunggangi kapitalis telah terbukti gagal mengambil kebijakan apapun ditengah-tengah masyarakat. Kebijakan yang dikeluarkan cenderung tidak berpihak pada rakyat. Dan hanya memberikan keuntungan bagi segelintir orang. Jangankan mengurusi keselamatan hidup para penderita Corona, menghentikan penyebarannya saja dengan melarang mudik, sistem negeri ini sudah nyata kegagalannya. Seharusnya Luhut sebagai menteri wajib mementingkan keselematan rakyat dari penyebaran covid – 19  daripada memikirkan ekonomi yang nyatanya juga tak kunjung stabil.

Semoga badai Corona segera berlalu begitu juga dengan kebobrokan kapitalisme akan berakhir. Dan musibah wabah ini membawa perubahan kesadaran yang baru bagi masyarakat untuk segera berbenah diri dan menyerukan kepada penguasa agar negeri ini segera diselamatkan dengan syariat Islam. Wallahu a’lam bissawab.

Tulis Komentar Anda di Sini

Scroll to Top