Oleh: M Rizal Fadillah
REZIM atau regime adalah bentuk pemerintah atau seperangkat aturan, norma budaya atau sosial yang mengatur operasi suatu pemerintah atau lembaga dalam interaksinya dengan masyarakat. Menurut KBBI, rezim adalah tata pemerintah negara atau pemerintahan yang berkuasa.
DPR adalah singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat, bukan Perwakilan Rezim. Karenanya, meskipun DPR dan Pemerintah sama-sama menjadi institusi supra struktur politik, namun memiliki posisi yang berbeda.
Pemerintah adalah pengelola negara dan “memerintah” rakyat, sementara DPR mewakili rakyat dan atas nama rakyat mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam kaitan RUU HIP, penyimpangan dilakukan sejak dini, yakni menggagas tanpa keterlibatan rakyat. Muncul diam-diam dengan penetapan kontroversial. Rakyat teriak setelah RUU inisiatif Dewan ini diserahkan kepada pemerintah.
Pemerintah bersikap mengambang dan “cari aman” dengan bahasa “menunda”. Mungkin juga harapannya terganjal. Ungkapan ketidaktahuan 100 % Presiden dipastikan hoaks.
Gelombang penolakan ternyata sangat masif dan dahsyat baik dalam bentuk deklarasi atau aksi. Hampir terjadi di seluruh Indonesia. Intinya mendesak RUU HIP agar dicabut atau dibatalkan.
Rakyat menilai RUU ini berbau komunisme dan membuka peluang bagi bangkitnya PKI. Misi terselubung dari konseptor atau pengusul terkuak oleh publik. Tuntutan pengusutan mengemuka.
DPR anehnya belum mengambil sikap jelas. Bahkan ada yang mencoba otak-atik mengubah judul dari HIP menjadi PIP. Meski ada perbedaan isi dan arah, tapi bahasan RUU ini sudah kehilangan ruh.
Berganti judul apapun apakah PIP, BIP, SIP, RIP atau lainnya sudah tak berguna. Suara rakyat tegas yaitu tolak, hentikan atau batalkan. Lagi pula dengan mengganti nama dan isi RUU seharusnya masuk dalam proglegnas baru.
Jika terus mengambang apalagi hendak mengalihkan pembahasan RUU hanya sebagai bekal BPIP semata, maka DPR yang telah mengabaikan suara rakyat tersebut akan menghadapi teriakan lebih keras. Terutama kepada partai partai yang dianggap “tuli” dan “buta” yang mengabaikan aspirasi rakyatnya.
Menipu rakyat dengan geseran bahasan, justru akan menggeserkan tekanan pula. Jika BPIP menjadi sentral, maka suara rakyat akan terarah kepada BPIP dan instansi di belakangnya. Seruan rakyat kelak adalah “bubarkan BPIP” dan “turunkan penanggung jawab yang berada di belalang BPIP”. Bukan mustahil presiden akan menjadi sasaran.
Sekadar meningkatkan status dasar pengaturan BPIP dari “Perpres” menjadi “Undang-Undang” juga terlalu buang energi dan berlebihan. Sangat jelas DPR dengan RUU inisiatifnya ini menjadi lembaga penyalur kepentingan pemerintah. Padahal BPIP bentukan presiden ini dinilai rakyat sudah tidak bermanfaat.
Ketika DPR diam atau “buta” dan “tuli” atas aspirasi rakyat yang mendesak agar RUU HIP dibatalkan atau dihentikan, maka DPR telah menempatkan dirinya bukan sebagai “Wakil Rakyat”. Yang didengar dan diperjuangkan adalah kepentingan, jika bukan pemerintah, maka itu adalah dirinya sendiri, Partai Politik.
RUU HIP menjadi bukti dan alat uji atas pertanyaan mendasar apakah saat ini DPR itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Partai ataukah memang telah berubah menjadi Dewan Perwakikan Rezim?
(Pemerhati Politik dan Kebangsaan)