Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
(Koordinator LENTERA)
Pelarungan terhadap jenazah 4 ABK Indonesia di kapal nelayan berbendera Cina beberapa waktu lalu, menuai kecaman. Ya, kasus ABK WNI itu mencuat saat media lokal MBC News di Korea Selatan melaporkan sebuah rekaman pelarungan jenazah di sebuah kapal. Belakangan, laporan berita tersebut viral hingga ke Indonesia.
Masalahnya, ada dugaan praktik eksploitasi anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal ikan Cina, Long Xin 629 tersebut. Tak hanya itu, sebanyak 14 ABK lainnya selanjutnya juga meminta perlindungan hukum saat berlabuh di Busan, Korea Selatan. Saat ini, otoritas Korea Selatan tengah melakukan investigasi terkait penemuan tersebut.
Lebih dari itu, masih ada lagi dugaan lanjut. Di mana para ABK itu selalu mendapat eksploitasi keuangan (financial exploitation), eksploitasi buruh (labour exploitation), kekerasan fisik (physical abuse), dan manipulasi psikologis (psychological manipulation). Hingga pada akhirnya memberikan petunjuk bahwa ini merupakan kasus human trafficking atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) lintas negara (trans-border) dan terselubung (underground).
Tak pelak, peristiwa ini tentu saja menambah deretan PR panjang Indonesia, di tengah karut-marut penanganan pandemi COVID-19 beserta problem dalam negeri lainnya.
Kemungkinan besar, para ABK tersebut saat mencari pekerjaan di kapal asing tersebut, terpaksa melalui calo. Demi bisa bekerja. Yang risiko lazimnya, yakni mengalami eksploitasi finansial. Dan benar saja, begitu mereka dipekerjakan, mereka kerap diharuskan bekerja rodi selama 20 jam non-stop, dengan waktu istirahat yang minim.
Belum lagi dengan gajinya. Upah para ABK itu disebutkan sebesar US$300 dolar per bulan atau sekitar Rp 4.950.000,-. Jumlah tersebut dengan rincian : dikirim kepada keluarga sebesar US$150, kemudian sejumlah US$100 disimpan oleh pemilik Kapal Long Xing, dan sejumlah US$ 50 lagi diambil di atas kapal setelah kapal sandar. Jadi ABK memang hanya menerima US$ 50 (50 dolar) untuk kerja mereka.
Sangat mungkin, kejadian ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Hanya saja baru terungkap sekarang, ketika polemik ketenagakerjaan juga sedang memanas di Indonesia. Yakni saat TKA (tenaga kerja asing) dari negeri yang sama (Cina) justru diberi karpet merah di tanah air. Namun ironisnya, TKI (tenaga kerja Indonesia) bagi Cina tak ubahnya keset lusuh agar mudah diinjak-injak dan ‘boleh’ diperlakukan tidak manusiawi. Buktinya, warga Cina toh tidak memperlakukan para ABK tadi se-istimewa warga mereka yang dipekerjakan di Indonesia.
Menyikapi hal ini, sejumlah pihak pun menyeru agar pemerintah Indonesia mendorong untuk ratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 tahun 2007. Ini dalam rangka perlindungan terhadap ABK WNI.
Hanya saja kondisinya, posisi diplomatik Indonesia saat ini tengah berada di bawah jerat utang Cina. Untuk urusan selain utang pun, Indonesia sudah sangat tergantung kepada Cina. Posisi tawarnya tak sepadan. Praktis, Indonesia nampaknya tak berani melawan. Belum lagi dengan kondisi dalam negeri yang sedang rapuh akibat pandemi corona, tentu membuat Indonesia kian lemah secara politik. Padahal di sisi lain, Indonesia punya potensi besar, karena menjadi negeri muslim terbesar di dunia.
Itulah mengapa, posisi Indonesia ini tak ubahnya negara terjajah. Alih-alih hendak menjadi macan Asia. Yang ada, Indonesia makin terpuruk akibat oligarki kapitalisme di lingkaran penguasa. Benar-benar menyedihkan!
Mencermati hal ini, negara kita setidaknya dapat meninjau problematika ini menurut tiga aspek. Syaratnya, ketiganya harus dijiwai mandat atas peran negara sebagai penanggung jawab dan pelindung bagi urusan rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Pertama, peran negara memberikan fasilitas jalur nafkah bagi rakyatnya. Kemampuan seorang laki-laki dalam menafkahi keluarganya ini dipengaruhi oleh ketersediaan lapangan kerja yang mencukupi bagi mereka, serta adanya jaminan negara terhadap keluarga yang kaum laki-lakinya mempunyai halangan dalam bekerja. Artinya, seorang warga negara tak harus bekerja di luar negeri demi mendapat nominal gaji yang layak.
Lihatlah realita saat ini. Di satu sisi, tenaga kerja di dalam negeri, ramai-ramai tertimpa badai PHK. Sementara TKA diberi fasilitas bekerja yang lebih dari memadai. Ironisnya lagi, TKI di luar negeri pun tak ubahnya bulan-bulanan mafia perbudakan hingga diperlakukan jauh dari manusiawi. Alih-alih perlakuan sepadan. Karenanya, ini benar-benar sesat logika.
Kedua, status kewarganegaraan seorang individu. Kewarganegaraan adalah sebuah status yang membuat seorang individu akan memperoleh perlindungan politik. Patokan bagi status kewarganegaraan menurut aturan Islam adalah tempat menetap dan loyalitas seseorang kepada negara. Jelas bukan nasionalisme yang menjadi standar.
Terlebih ketika mereka adalah para pekerja migran. Dengan kepemilikan status kewarganegaraan ini, akan terbukti peran pemerintah sebagai perisai atau pelindung bagi warganya ketika mereka harus menghadapi problem diplomatik dengan pihak luar negeri. Rasulullah ﷺ bersabda : “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya…” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).
Ketiga, politik luar negeri. Politik luar negeri dalam perspektif Islam adalah bentuk hubungan suatu negara yang berhukum pada Islam dengan negara, bangsa dan umat lain yang tidak berhukum pada Islam. Politik luar negeri ini berdiri di atas pemikiran yang tetap dan tidak akan berubah, yaitu penyebarluasan Islam ke seluruh dunia pada setiap umat dan bangsa.
Tinta emas sejarah mencatat, pasukan kaum Muslim dalam negara Islam di berbagai masa senantiasa menggentarkan negara-negara tetangganya. Semua strategi dan operasi politik luar negeri ini dilakukan dengan tetap mengacu pada asas kepentingan dakwah dan jihad hingga Islam terwujud sebagai opini umum di seluruh dunia.
Demikianlah selayaknya sikap sebuah negara yang punya visi besar menuju negara mandiri dan berdaulat. Perlu upaya keras dalam meraih kewibawaan dan kehormatan negara, agar tak mudah dilecehkan oleh negara lain apalagi sampai menjadi negara terjajah.