Oleh: W. Irvandi
Sebagaimana di lansir dari laman berita dunia.tempo.co, Lembaga dunia World Food Program mengatakan masyarakat dunia menghadapi ancaman kelaparan besar-besaran dalam beberapa bulan lagi akibat resesi ekonomi yang dipicu pandemi COVID-19 atau virus Corona. Karena saat ini ada 135 juta orang menghadapi ancaman kelaparan. Proyeksi dari WFP menunjukkan jumlahnya bisa meningkat dua kali lipat menjadi 270 juta orang.
Jumlah ini masih bisa bertambah karena ada sekitar 821 juta orang yang kurang makan. Sehingga, total warga dunia yang bisa mengalami bencana kelaparan melebihi 1 miliar orang. Bencana pangan ini bisa terjadi di sekitar 55 negara jika melihat pada skenario terburuk.
Sejumlah negara yang menempati peringkat terburuk terkait ancaman kelaparan adalah Yaman, Kongo, Afganistan, Venezuela, Ethiopia, Sudan Selatan, Suriah, Nigeria dan Haiti. PBB mengingatkan wabah ini bisa menyebar juga ke Afrika dan menyebabkan bencana kemanusiaan besar.
Kesulitan pangan memang dapat terjadi di waktu kapanpun. Bisa disebabkan oleh gagal panen, atau adanya wabah seperti sekarang ini sehingga tingkat produktivitas menurun disebabkan banyak orang yang terkena dampak dari wabah tersebut. Namun dalam islam, seharusnya orang-orang yang sehat tetap melakukan aktivitas bekerja, sementara yang sakit diistirahatkan di rumah. Sehingga tidak mencampurkan antara yang sehat dengan yang sakit agar produktivitas tetap berjalan.
Kebijakan lainnya juga dapat dilakukan guna meminimalisir bencana kelaparan yang diakibatkan bencana dari wabah yang terjadi. Diantaranya adalah pemerintah berperan dalam proses intenfikasi pertanian (produktivitas tanah-tanah) yaitu kemudahan dalam proses produksi bagi para petani. Adanya subsidi dari sisi bibit, pupuk sampai dalam hal alat-alat pertanian. Selain itu para petani diberikan kemudahan dalam proses penjualan hasil dari pertaniannya.
Berikutnya adalah kebijakan ekstensifikasi pertanian (perluasan area pertanian) artinya perlu diperhatikan lahan yang akan diperuntukkan sebagai lahan pertanian. Harus ada telaah atau kajian lahan yang mana saja untuk pembangunan, pertanian ataupun perindustrian. Dalam islam apabila ada tanah yang menganggur maka berikanlah kepada saudaranya agar dapat dikelola. Kalau pun tidak ada yang mengelola maka negara bisa mengambil alih untuk dikelola lahan tersebut sehingga menjadi lahan yang produktif.
Dalam hal ini rasulullah saw bersabda : “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya menanaminya, atau meberikannya kepada saudaranya. Apabila dia menelantarkannya, maka hendaknya tanah tersebut diambil darinya (HR. AL-Bukhari, 2172). Artinya negara melakukan kebijakan menghidupkan lahan mati (ihya’ al-mawat) dan pemagaran (tahjir) bila para petani tidak menggarapnya secara langsung.
Untuk mencapai kebutuhan pokok masyarakat, maka pemerintah harus memastikan jalur distribusi dan pendistribusian beras kepada masyarakat benar-benar sampai. Termasuk harganya dapat dijangkau oleh lapisan masyarakat manapun. Bagi mereka-mereka yang memang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, maka mereka masuk menjadi bagian tanggungan negara. Dulu di masa rasulullah mereka berada di dalam tanggungan negara dan disebut sebagai ahlu suffah di masjid Nabawi.
Untuk menjaga kestabilan harga, maka pemerintah melakukan kebijakan penjagaan pada mekanisme pasar. Jangan sampai ada yang melakukan penimbunan atau merusak harga pasar. Oleh karena itu sanksi harus tegas dan fungsi qadhi hisbah (sebagai lembaga yang dapat langsung memberikan tindakan terhadap pelanggaran) secara aktif dan efektif memonitor pasar.
Pemerintah juga harus menjaga supply and demand (penawaran dan permintaan). Salah satunya dengan kemandirian pertanian yang didukung oleh kebijakan teknologi yang mumpuni dalam perkembangan pertanian. Pengembangan teknik-teknik budidaya, riset alat teknologi, obat-obatan termasuk pengembangan bibit dan benih yang baik terus-menerus dilakukan.
Jika tidak terjadi keseimbangan maka negara segera melakukan keseimbangan dengan memenuhi kebutuhan stock dengan cara mendapatkan dari daerah lain atau impor dari luar negeri. Itu pun bersifat sementara, karena pemerintah harus melakukan kemandirian dari sisi pertanian. Kebijakan impor akan dilarang jika menjadikan posisi negara mejadi lemah karena distir oleh negara yang mengekspor.
Kebijakan memenuhi kebutuhan stock bahan pangan pernah diterapkan ketika negara terkena dampak suatu wabah. Hal ini dapat kita lihat contoh bagaimana tindakan Khalifah Umar ra ketika terjadi musim paceklik di Madinah. Beliau mengirim surta kepada Abu Musa ra di Bashrah : “Bantulah umat Muhammad saw!” setelah itu ia pun mengirim surat yang sama kepada ‘Amr bin al-‘Ash ra di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, meliputi makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan ‘Amr ra dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah kemudian dari sana baru dibawa ke Mekkah. (Al-Bidayah wa an-Nihayah, 7/103; At-Thabaqat al-Kubra 3/310-317)
Bahkan ketika negara Irlandia merasakan bencana kelaparan, maka Khilafah Turki Ustmaniyah juga membeirkan bantuan. Mary McAleese (Presiden ke-8 Irlandia Tahun 1997 – 2011) dan termasuk bagian dari anggota Delegasi Gereja Katolik menyatakan : “Sultan Ottoman (Khilafah Utsmani) mengirimkan tiga buah kapal, yang penuh dengan bahan makanan, melalui pelabuhan-pelabuhan Irlandia di Drogheda. Bangsa Irlandia tidak pernah melupakan inisiatif kemurahan hati ini,”. Maka dari itu untuk mengenang jasa tersebut, logo bulan bintang Kekhilafahan Turki Ustmani menjadi logo salah satu klub sepok bola di Irlandia.
Demikianlah secara ringkas, bagaimana islam memberikan seperangkat aturan dalam mengatasi krisis pangan atau menangani bencana kelaparan akibat dari pandemi wabah yang menyebar. Tentu saja ini dilakukan secara berkesinambungan dan sejalan dengan penerapan islam dalam bidang yang lain. Dan tidak kalah pentingnya adalah peran negara dalam menjaga kestabilan harga bahan pangan secara alamiah, ketersediaan bahan komoditas, swasembada, dan pertumbuhan disertai stabilitas ekonomi. Dan negara tersebut menerapkan islam dalam mengurusi urusan rakyatnya.
Wallahu a’lam