Keretakkan Rumah Tangga di Sistem Kapitalis, Sungguh Miris!

Oleh: Ummu Rizkyi (Komunitas Setajam Pena)

Seperti dilansir detik.com (28/02/2020), bahwa dari tahun ke tahun angka perceraian yang terjadi di negeri ini semakin meningkat tajam. Hal ini bagaikan bola salju yang semakin menggelinding semakin membesar. Adapun faktor yang memicu terjadinya perceraian yaitu; perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, ekonomi, meninggalkan salah satu pihak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mabuk, judi, zina, selingkuh, poligami, dihukum di penjara, dll.

Pertengkaran yang terus menerus, yang tidak menemukan titik penyelesaian masalah maka akan berdampak pada satu jalan yaitu perceraian. Terkadang juga perceraian didukung oleh faktor ekonomi, prinsip, visi misi yang sudah tidak bisa dijalankan dan lain sebagainya.

Ekonomipun juga bisa sebagai pemicu terjadinya perceraian, misalnya; dengan penghasilan suami yang pas-pas an, seorang istri menuntut segala kebutuhannya harus dipenuhi. Ada hp keluaran terbaru ingin beli, ada fashion terbaru ingin beli, ada motor terbaru yang ia sukai ingin beli. Tanpa memikirkan dan menghiraukan penghasilan suaminya.

Adapun poligami, yang memicu terjadinya perceraian, karena kurangnya pemahaman istri terhadap pemahaman islam, bahwa Islam membolehkan adanya poligami asalkan mampu dan adil kepada istri-istri yang lainnya. Bahkan tanpa adanya ijin dari istri pertama, poligami pun telah sah. Akan tetapi, kurangnya pemahaman seorang istri terhadap islam didukung oleh aturan negara sekuler ini yang mengharuskan adanya ijin istri pertama jika suami ingin berpoligami. Belum lagi kebanyakan laki-laki yang berpoligami juga tidak faham bagaimana Islam mengatur dan besarnya tanggungjawab di dunia dan akhirat, sehingga banyak fakta poligami saat ini yang cenderung mendholimi istri pertama. Hal ini yang menyebabkan istri pertama menuntut perceraian.

Baca Juga:  Kapitalisasi Pelayanan Kesehatan Bentuk Kezaliman terhadap Rakyat

Ketidaksabaran dan ketabahan seorang istri dalam mengarungi kehidupan juga mempengaruhi meningkatnya angka perceraian yang terjadi di negeri ini. Misal; suami dipenjara karena suatu hal, kemudian istri langsung mengajukan gugatan cerai kepada suaminya untuk menceraikannya. Padahal, sebagai istri haruslah menemani dan mendampingi suaminya bagaimanapun keadaanya dan sampai kapanpun. Harus mensuport dan senantiasa bersabar menghadapi ujian.

Sebagaimana dilansir databoks(20/02/2020), bahwa berdasarkan data dari badan pusat statistik (BPS) 2019, angka perceraian tertinggi dikarenakan adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus.

Perceraian terkadang dianggap menjadi solusi dari sebuah permasalahan yang terjadi di dalam rumah tangga. Tetapi faktanya, dengan adanya perceraian ternyata menyisakan banyak masalah. Misalnya terkait hak asuh anak, penafkahan anak, pembagian harta gono gini dan lain sebagainya.

Beginilah salah satu dari kesekian banyaknya masalah yang timbul akibat diterapkannya kapitalisme sekuler (memisahkan antara agama dengan kehidupan). Agama hanya dianggap mengurusi masalah sholat, puasa, zakat saja, juga sebagai ranah individu atau kelompok saja. Bukan menjadi tanggung jawab negara. Sehingga ketika mereka berpemahaman seperti itu maka negara tidak boleh campur tangan.

Padahal kalau kita pelajari, bahwa perceraian itu terjadi karena beberapa faktor. Seperti yang dibahas di atas tadi. Misalnya faktor ekonomi, sekarang lapangan pekerjaan bagi laki-laki sangat minim dan terbatas. Malah sebaliknya, lowongan pekerjaan dibuka selebar-lebarnya bagi perempuan. Terutama dibidang industri. Secara tidak langsung maka, dengan berjalannya waktu akan menggeser kedudukan laki-laki dan perempuan yang semestinya. Laki-laki yang seharusnya berkewajiban bekerja mencari nafkah akan digeser menjadi pengurus rumah dan anak-anaknya, sedangkan perempuan seharusnya menjadi pengatur rumahtangga dan mngurus anak-anaknya bergeser harus bekerja mencari nafkah.

Baca Juga:  Sri Mulyani Ramal Konsumsi Rumah Tangga Amblas ke 0%

Dalam Islam telah jelas, bahwa kewajiban mencari nafkah adalah di pundak seorang suami, sesuai sabda Rosullah SAW, yang artinya: “Dan hak mereka (istri) atas kalian adalah menafkahi mereka dan menyayangi mereka dengan baik.” (HR muslim no. 1218)

Dan Islam sudah menjelaskan bahwa hukum cerai adalah boleh, akan tetapi sangat dibenci oleh Allah, sesuai dengan sabda nabi SAW yang artinya: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah cerai.” (HR. Abu Daud, Baihaqi, dan Ibnu Adi)

Begitu pula Islam telah mengatur, jika terjadi perceraian maka jelas hak asuh anak jatuh pada ibunya selagi anaknya masih menyusui atau belum baligh. Sesuai sabda Rosulullah SAW yang artinya: “Seorang wanita bertanya kepada Rosulullah, wahai Rosulullah anakku ini, perutkulah yang menjadi tempat, tetekkulah yang menjadi air minumnya, pangkuankulah yang menjadi tempat berlindungnya, tetapi ayahnya menceraikanku dan dia ingin mengambilnya dariku. Rosullah bersabda: “engkau lebih berhak atas anak itu selama kamu belum menikah lagi. Kemudian setelah baligh, keputusan mau ikut ibu atau bapaknya diserahkan kepada anaknya. Masalah nafkah, anak dan ibu/mantan istri ditanggung oleh bapak/mantan suami, selama istri belum menikah lagi.”

Demikianlah indahnya Islam mengatur kehidupan rumah tangga, termasuk mengatasi masalah perceraian, akan memberikan solusi yang tepat dan tuntas. Akan tetapi, hal itu akan terwujud hanya dengan diterapkannya Islam secara kaffah dalam bingkai negara.[]

Tulis Komentar Anda di Sini

Scroll to Top