Oleh: Fajar Sidik S.H., M.Medkom.
Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran IA
Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Aceh
Beberapa bulan terakhir sedang populer program Budi Daya Ikan Dalam Ember (Budikdamber). Konsep yang awalnya hadir karena keterbatasan lahan di wilayah perkotaan dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga. Konsep kulkas hidup menjadi hal baru yang ditawarkan oleh budikdamber, nampaknya menarik minat keluarga di Indonesia untuk mencoba mengimplementasikannya. Perlengkapan yang mudah didapat, benih yang murah dan sayuran segar yang dapat dipanen kapan saja, menjadi unggulan utama dari program ini. Bayangkan saja, dengan ember 100 liter, dapat diisi 80-90 benih lele dan dapat dipanen selama 2-3 bulan. Apalagi dikombinasi dengan tanaman sayur seperti kangkung, sawi, selada dan lainnya yang dapat dipanen dalam 2-3 pekan sekali. Tentu banyak manfaat yang didapat dari program sederhana ini.
Dalam jurnal ilmiah yang ditulis Juli Nursandi berjudul Budikdamber Dengan Aquaponik dilahan Sempit, protein hewani sangat dibutuhkan oleh setiap manusia. Salah satu cara untuk memenuhinya bagi orang dersa yakni dengan memelihara ikan di kolam, sungai, danau ataupun media perairan yang lain. Lokasi budidaya ikan di desa masih tersedia dan memang masih layak secara kualitas dan kuantitasnya, namun bagaimana dengan penduduk perkotaan yang memiliki lahan yang sempit?.
Masih menurut dosen salah satu perguruan tinggi negeri di Lampung ini, carrying capacity atau daya dukung lingkungan merupakan salah hal yang harus diperhatikan dalam membudidayakan ikan. Semakin besar wadah budidaya maka semakin banyak ikan yang dipelihara. Namun seiring kemajuan teknologi, wadah atau media yang kecil sekalipun, dapat ditingkatkan daya dukung lingkungannya sehingga proses pemeliharaan ikan sebagai protein hewani keluarga, dapat tetap dialksanakan.
Menurut Suprapto dkk (2013) kepadatan pemeliharaan Ikan Lele (Clarias gariepinus) dengan teknologi bioflok mampu meningkatkan padat tebar hingga satu ekor ikan per liter air. Hal tersebut membuka peluang bagi masyarakat yang memiliki lahan sempit untuk bisa membudidayakan ikan pada lahan yang sempit. Apalagi seiring waktu berjalan, kebutuhan pangan semakin meningkat dan sulit terpenuhi oleh peternak atau pengusaha sektor perikanan. Solusinya tentu memenuhi kebutuhan protein hewani tersebut secara mandiri. Dengan perancangan sistem budidaya ikan yang di lakukan media yang kecil (dalam ember 60 liter), menjadi alternatif keluarga-keluarga id Indonesia untuk berdikari dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarganya.
Semakin terbatasnya lokasi budidaya yang tersedia memaksa kita untuk semakin kreatif dalam memanfaatkan lokasi yang sempit dan tentunya hemat air. Salah satu ikan yang memiliki kemampuan survaival yang tinggi adalah lele. Untuk membudidayakannya dapat menggunakan sistem padat tebar tinggi dengan penambahan aerasi dan aplikasi probiotik ataupun dengan sistem bioflok. Dengan aplikasi teknologi, wadah atau media yang kecil berupa ember dengan volume 60 liter secara teori akan mampu menampung pembudidayaan 60 ekor ikan lele. Penghematan air budidaya ikan dapat dilakukan dengan cara memakai air secara berulang-ulang (metode resirkulasi) tanpa penggantian air. Selain itu, media budidaya yang kecil ini juga dapat dimanfaatkan menjadi lahan tanam sayuran seperti kangkung, sawi, selada, dan lainnya. Budikdamber menjadi solusi potensial bagi budidaya perikanan di lahan yang sempit dengan penggunaan air yang lebih hemat, mudah dilakukan masyarakat di rumah masingmasing dengan modal yang relatif kecil serta akhirnya mampu mencukupi kebutuhan gizi masyarakat.
Konsep Budikdamber sejatinya bukan hal yang baru. Konsep ini telah lahir sejak tahun 2016 lalu. Namun, menjadi viral karena kondisi pandemi saat ini dimana aktivitas masyarakat sangat terbatas, kekhawatiran pada distribusi kebutuhan pangan dan tentunya sebagai salah satu aktivitas mengisi waktu luang. Telah banyak keluarga di Indonesia yang awalnya hanya mencoba-coba, sukses menjalankan konsep ini. Selain kebutuhan protein hewani keluarga terpenuhi, juga kebutuhan sayur hidroponik yang sehat dan dapat dipanen kapan saja, menjadi program terbaik keluarga dalam mengisi waktu bersama saat #dirumahsaja.
Meningkatkan Ketahanan Pangan Keluarga Dhuafa
Data kemiskinan bulan September tahun 2019 menurut catatan Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin sebanyak 24,79 juta orang, menurun 0,36 juta orang terhadap Maret 2019 dan menurun 0,88 juta orang terhadap September 2018. Meskipun dari tahun ke tahun terus menurun, namun angka tersebut tertinggi untuk pulau sumatera. Hal tersebut tentu perlu terus didorong agar angka kemiskinan di indonesia dapat terus menurun signifikan.
Bagaimana dengan data kekurangan gizi (stunting) ibu dan anak nasional? Hasil Susenas BPS Maret 2019 tercatat prevalensi stunting balita mengalami penurunan dari 30,8% tahun 2018 (Riskesdas 2018) menjadi 27,67% tahun 2019. Artinya, terjadi penurunan angka stunting sebesar 3%. Penurunan tersebut tentu sangat positif, namun angka stunting di Indonesia masih sangat tinggi karena diatas nilai toleransi yang ditetapkan WHO sebesar 10%. Hal ini tentu perlu didorong lebih kuat oleh seluruh struktur pemerintah, pusat dan daerah, agar kualitas SDM di Indonesia dapat lebih baik di masa yang akan datang.
Kemiskinan dan stunting menjadi permasalahan lama bangsa yang belum terselesaikan. Penggelontoran dana desa memiliki tujuan untuk menstimulus perekonomian lokal untuk tumbuh dan berkembang. Pengelolaan dana desa dengan konsep swakelola, seharusnya mempercepat pertumbuhan perekonomian desa, memangkas pengangguran, dan menumbuhkan unit-unit usaha level desa baru.
Dari sisi desa, semakin bertambahnya desa-desa mandiri yang menjadi indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan menunjukkan dana desa memberi dampak pada kemajuan desa. Kementerian Desa dan PDT merinci permasalahan belum optimalnya pengaruh dana desa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sepanjang tahun 2015-2019 antara lain belum tersistematisasi dan berkesinambungan program yang dilaksanakan dengan dana desa. Hal tersebut terjadi karena desa belum memiliki kompetensi untuk menyusun blue print pembangunan (pendampingan penyusunan program perlu dilakukan oleh pemerintah). Pada akhirnya, 77% dana desa habis untuk membangun infrastruktur, hanya 12% untuk program perikanan, 4% sektor kesenian dan hiburan, dan 1,5% ke industri semen. Meskipun secara nasional, blue print tersebut telah tersusun, namun dalam pelaksanaannya perlu di asistensi agar goal yang ingin dicapai dapat direngkuh. Apalagi target tahun 2024 yakni berdirinya 10.000 desa mandiri yang memiliki pendapatan desa yang cukup untuk menjalankan program-programnya secara mandiri.
Optimalisasi Dana Desa untuk Budikdamber
Sempat beredar pada media sosial penyaluran Dana Desa daerah Jambi melalui program budikdamber. Dengan modal yang hanya kisaran 150 ribu (Paket lengkap ember, cup gelas plastik, kawat dan benih 100 ekor lele dan sayur), sedang diujicobakan untuk meningkatkan kebutuhan gizi keluarga dan penambahan income keluarga.
Apakah program ini perlu di duplikasi oleh daerah lain? Dengan pembinaan dari Pemerintah Daerah dan disempurnakan dengan bantuan pelatihan dari akademisi dan lembaga sosial kemasyarakatan, program ini layak di duplikasi oleh daerah-daerah di Indonesia. Dengan modal yang relatif sangat terjangkau, akan mampu meningkatkan gizi keluarga (ibu dan balita) di nusantara. Lebih lanjut apabila konsep ini diterapkan secara massif pada banyak keluarga, tentu akan menjadi bisnis rumah tangga yang akan berdampak pada penghasilan tambahan keluarga. Bekerjasama dengan bisnis kuliner disekitar desa yang wajib membeli minimal 30% kebutuhan ikan/sayurnya dari hasil budikdamber, maka tentu program ini tidak hanya akan memenuhi kebutuhan gizi keluarga, tapi akan menjadi tambahan penghasilan masyarakat desa
Dengan berjalannya program ini secara sistematis, maka permasalahan kekurangan gizi akan dapat teratasi dengan cepat. Selain itu, budikdamber juga akan menekan angka kemiskinan secara bertahap dan apabila memiliki prospek bisnis yang bagus, perlu didorong menjadi bisnis desa melalui badan usaha desa yang permodalannya didukung oleh dana desa. Dengan anggaran dana desa yang mencapai 72 triliun untuk 74.953 desa. Apabila program ini berjalan dengan massif dengan minimal 15 rumah tangga tiap desa, maka akan ada 1,12 juta rumah tangga yang akan terpenuhi kebutuhan protein hewaninya dan tentunya penghasilan tambahan.
Hasil budikdamber dari keluarga-keluarga pada setiap desa perlu ditampung oleh badan usaha desa yang telah memiliki kerjasama dengan pengusaha kuliner lokal. Dengan kualitas ikan dan sayur yang terjaga pangan dan semi organik, tentu nilai jual hasil budikdamber akan dapat dijual dengan harga yang kompetitif. Aktivitas badan usaha desa tersebut akan menggeliatkan perekonomian gampong dan tentunya membuat dana desa menjadi produktif meningkatkan kesejahteraan masyarakat gampong.
Selanjutnya tentu tugas pembinaan dan pendampingan yang perlu effort lebih besar bagi pemerintah di seluruh level birokrasi agar program dapat berjalan dengan baik, sukses dan berkelanjutan. Rumah-rumah tangga desa perlu diberikan pelatihan mengelola bisnis skala kecil agar permodalan yang telah diberikan tidak habis untuk konsumsi. Mungkinkah hal ini diterapkan di seluruh nusantara? Kenapa tidak dicoba.