TELAH tersiar luas bahwa Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengusulkan tentang lembaga pengawas media sosial. Meskipun masih sebatas wacana dan belum akan dirumuskan dalam waktu dekat, namun telah “meresahkan masyarakat”, khususnya netizen (Jakarta, Kamis (20/7/2023)). Budi juga menyebutkan bahwa pembentukan lembaga ini mulanya diusulkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD.

Menurut Menkominfo baru ini, gagasan awalnya adalah untuk mendorong masyarakat bersikap santun dan bijak dalam menggunakan media sosial supaya medsos tidak menimbulkan kegaduhan baru. Namun, Budi juga memahami kekhawatiran masyarakat yang menganggap ada kecenderungan bakal terjadi pengekangan kebebasan berpendapat jika lembaga itu dibentuk.

Menurut saya, wacana pembentukan lembaga pengawas medsos ini tidak perlu diwujudkan karena berpotensi mematikan demokrasi yang konon diklaim menjadi sistem terbaik untuk mengatur penyelenggaraan negara NKRI. Anda mungkin masih ingat adanya Kontroversial Statement Menkominfo Jhony G. Plate yang kemudian dibully Netizen hingga netizen ada yang menyatakan bahwa “Negara Demokrasi kok Mirip Rezim Komunis”.

Ucapan Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G Plate tentang hoax yang dibully netizen di media sosial berbunyi begini:

Baca Juga:  ‘Babak Belur’ Tenaga Medis di tengah Pandemi

“Kalau pemerintah sudah bilang hoax, ya itu hoax, kenapa dibantah lagi”.

Ucapan Menkominfo yang sekarang mendekam di rutan KPK atas kasus korupsi BTS ini tidak mencerminkan Indonesia sebagai negara demokrasi. Bahkan, tidak keliru jika ada yang berpendapat bahwa Indonesia malah mirip seperti negara komunis.

Kini, Budi Arie sebagai pengganti Menkominfo Johnny G Plate mencoba mengusung situasi dan kondisi yang sama di dunia medsos dengan pembentukan lembaga baru bernama lembaga pengawas media sosial. Meskipun Wamenkominfo membantah bahwa lembaga ini tidak akan mengekang kebebasan warga dunia medsos, namun narasi “meresahkan masyarakat”, “radikalisne”, “kegaduhan baru”, “berdasar hukum konsensus nasional” dan lain-lain menunjukkan ketidakpastian dalam penegakan hukum di negara demokrasi. Pemaknaan hingga penerapan teknis narasi kata-kata tersebut tergantung “maunya” rezim penguasa. Biasanya hal tersebut akan mendorong penegakan hukum yang diskriminatif, inequality before the law, Suka-Suka Kami (SSK) hingga penegakan hukum yang brutal (brutallity of law enforcement) di negeri demokrasi ini.

Saya perlu menegaskan dan meyakini bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan bubar dan disintegrasi bangsa akan terjadi lantaran tidak adanya lembaga pengawas medsos, namun justru patut diduga bahwa adanya lembaga ini justru mengancam terjadinya DISINTEGRASI bangsa Indonesia karena:

  1. Menjadi lembaga PENGONTROL KEHIDUPAN RAKYAT atas nama dan demi PANCASILA DAN NEGARA, bahkan berpotensi menjadi EXTRACTIVE INSTITUTION represif yang memiliki kewenangan memberikan rekomendasi atas hasil kajiannya terhadap penegakan hukum administratif, penanganan tindak pidana di bidang medsos.

  2. Berpotensi menjadi GODAM ALAT GEBUK bagi lawan-lawan politik pemerintah atau pihak yang berseberangan dengan pemerintah terkait dengan ditetapkannya tafsir tunggal terhadap narasi radikalisme, kegaduhan masyatakat, keresahan masyarakat dll. Hal ini justru akan memicu kegaduhan dan konflik baru di tengah masyarakat. Apalagi sekarang menjelang pemilu 2024, lembaga ini akan sangat ampuh untuk memberangus lawan politik, sekalligus melindungi kawan politik.

  3. OVERLAPPING dan REDUNDANT atas tugas dan wewenang kepolisian bidang medsos dan siber. Sudah ada lembaga yang memantau dunia siber dari kepolisian. Adanya lembaga baru ini merupakan sebuah pemborosan dan istilah netizennya “unfaedah” untuk perkembangan demokrasi di tanah air.

  4. Mendorong potensi penyalahgunaan kekuasaan (ABUSE OF POWER) khususnya jika lembaga ini mempunyai wewenang untuk memberikan rekomendasi atas pencabutan, penghapusan akun hingga penjatuhan sanksi administratif atau pun pidana terhadap netizen rentan, misalnya para ASN atau pegawai BUMN

Baca Juga:  Asimilasi Kriminal, Gagal Jamin Rasa Aman

Berdasarkan kemungkinan buruk yang akan terjadi, maka kiranya kita rakyat tidak membutuhkan lembaga pengawas medsos dengan segala perangkat yang dibutuhkan. Oleh karena itulah pendirian saya adalah: “Tolak Usulan Pembentukan Lembaga Pengawas Medsos Tanpa Reserve.” Jika masih mengaku NKRI masih menjadi negara demokrasi yang inti pokoknya adalah adanya freedom of speech dan kedaulatan rakyat, maka lebih baik batalkan usulan pembentukan lembaga pengawas medsos, terkecuali kita ingin menggiring negeri ini semakin menjadi negara otorititer, diktator ala negeri komunis?

Tabik…!! (*)

Oleh Pierre Suteki
Akademisi

Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan idtoday.co terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi idtoday.co akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan