Relevansi Isu Kesetaraan Gender dan Penurunan Angka Kelahiran Bayi

Oleh: Anggun Permatasari

Tahun 2020 merupakan refleksi ke 25 Deklarasi Beijing Platform for Action. Oleh sebab itu, pengarus utamakan gender kian digencarkan oleh kaum feminis untuk mewujudkan konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms Disciminations Againts Women).

Massifnya kampanye ide kesetaraan gender meliputi segala bidang termasuk kesehatan. Hal pokok yang menjadi fokus edukasi adalah tentang reproduksi wanita.

Dilansir dari laman liputan6.com., “Mariana Amirudin, Komisioner Komnas Perempuan bahwa ada tiga masa reproduksi yang dianggap sebagai momen rentan pada perempuan yaitu saat menstruasi, saat kehamilan dan saat menyusui. Ketiga masa itu jadi masa yang rentan baik dari segi psikis maupun mental pada perempuan”.

Menurut pandangan kaum feminis, selama ini kebanyakan perempuan tidak memiliki wawasan yang luas mengenai tubuh dan alat reproduksinya. Sehingga, mereka tidak mendapatkan hak yang sesuai dan tidak merdeka dalam pengambilan keputusan terkait masalah tersebut.

Berangkat dari keprihatinan tersebut opini kesetaraan gender mulai disebarkan. Saat ini masih ditemukan perempuan yang tersisih dan tidak dihargai dalam berbagai interaksi di masyarakat. Pilihan profesi yang terbatas, diskriminasi, aturan adat, agama, sarana, kesempatan dan pendidikan dianggap penyebab kaum perempuan kian termarginalkan.

Baca Juga:  TKA; Awalnya Menolak, Akhirnya Melunak

Namun, sejatinya segala ketidakadilan yang dirasakan kaum perempuan adalah karena mereka telah terpapar gaya hidup sekulerisme, kapitalisme dan liberalisme.

Sekulerisme yang memisahkan aturan agama dengan kehidupan tentunya membuat mereka miskin pengetahuan agama, kurang bersyukur sehingga rela menabrak fitrahnya dan titah Sang Pencipta.

Gaya hidup ala kapitalisme membuat kaum wanita berwatak materialistis dan hedonis. Gaya hidup glamor membuat wanita menjadi budak bisnis yang mengeksploitasi tenaga, tubuh dan pikirannya demi memenuhi pundi-pundinya.

Saat ini perempuan banyak yang lebih suka melajang atau menjalin hubungan tetapi tidak ingin terikat dalam status pernikahan. Mereka ingin bebas. Mereka juga enggan melahirkan dan menyusui karena tidak ingin sakit, repot dan mengalami perubahan fisik akibat menjalankan serangkaian skenario itu. Apabila mereka merasa siap untuk punya anak mereka lebih suka mengadopsi.

Mereka tidak ingin dibatasi aturan ini-itu yang membuat mereka harus tinggal lebih lama di dalam rumah. Eksistensi dalam karir dan pendidikan tinggi hingga ketidaksiapan menjadi orang tua juga menjadi faktor utama mereka berlaku seperti itu.

Baca Juga:  Maklumi ASN Berperilaku LGBT, Bukti Sekularisme Biang Penyakit

Di kutip dari laman Republika.co.id., tertulis bahwa di beberapa negara maju maupun negara berkembang angka kelahiran mengalami penurunan yang signifikan. Tahun 2018, Total angka kesuburan atau Total Fertility Rate (TFR) mencetak rekor terendah baru di Amerika Serikat yaitu 1,73 per perempuan.

Pada 2018, total populasi Jepang mencapai 124 juta. Namun jumlah ini diprediksi akan menyusut menjadi 88 juta pada 2065. Karena angka kelahiran lebih rendah dari jumlah kematian setiap tahunnya.

Selain penundaan kehamilan untuk mengejar karier dan edukasi, hingga ketidakmampuan finansial untuk bisa membesarkan anak. Penggunaan alat kontrasepsi merupakan faktor utama terjadinya penurunan jumlah populasi.

Oleh karena itu, apabila kita kaji lebih dalam opini kesetaraan gender dan kebijakan program Keluarga Berencana (KB) sejatinya bersinergi dalam menentukan TFR di setiap negara.

Dari berbagai kasus di atas, jelas bahwa jalan keluar yang ditawarkan pegiat gender terbukti gagal. Solusi parsial kesetaraan gender justru menimbulkan masalah baru dan berdampak pada nasib kelangsungan hidup manusia di masa depan yang dapat menyebabkan lost generation.

Baca Juga:  New Normal dan Skenario Penyelamatan Kapitalisme Global

Sebenarnya masalah pemenuhan sarana kesehatan yang kurang memadai tidak hanya melanda kaum perempuan tapi dirasakan juga oleh laki-laki dan anak-anak. Hal ini merupakan dampak sistemik dari penerapan sistem pemerintahan yang karut marut oleh penguasa.

Solusi terbaik bagi masalah tersebut adalah dengan mengkembalikan perempuan pada kodrat asalnya. Melalui rahimnya yang mulia perempuan akan melahirkan dan dengan bekal pendidikan yang mumpuni perempuan diberi amanah sebagai ummu warabbatul albayt atau pendidik dan pencetak generasi unggul bagi peradaban gemilang.

Tentunya seluruh problematika yang terjadi pada jutaan perempuan adalah masalah terstruktur yang hanya bisa diatasi dengan solusi paripurna pembenahan sistem kehidupan, pemerintahan, pendidikan, kesehatan dan perekonomian yang revolusioner bukan kesetaraan gender. Wallahu a’lam.

*Tulisan ini adalah ‘Surat Pembaca atau Opini‘ kiriman dari pembaca. IDTODAY.CO tidak bertanggung jawab terhadap isi, foto maupun dampak yang timbul dari tulisan ini. Mulai menulis sekarang.

Tulis Komentar Anda di Sini

Scroll to Top