Serba Terlambat

Oleh: Chusnatul Jannah

Dulu, sering kali mendengar sebutan bagi orang yang suka terlambat datang dari waktu yang ditetapkan  sebagai jam karet. Karet berarti molor, telatan, dan tidak disiplin. Terlambat berarti lewat dari waktu yang ditentukan. Aa Gym pernah mengatakan kesempatan untuk memperbaiki diri senantiasa terbuka lebar. Hanya saja ada yang bersegera, terlambat, menunda nunda, bahkan lari darinya.

Mungkin Indonesia termasuk yang terlambat dan menunda-nunda.. Sejak Covid-19 diumumkan pada Desember 2019 lalu, Indonesia easy going saja. Saat negara lain sibuk melakukan pencegahan penyebaran Covid-19, negeri ini masih santai juga. Bahkan membiarkannya menjadi bahan lelucon para menteri. Barulah ketika Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi global, Indonesia baru bertindak agak serius. Itu pun karena kasus pertama Covid-19 diumumkan Presiden pada 2 Maret 2020. Dibilang serius sekali juga tidak, dikatakan terlalu santai juga tidak. Jadi, lebih tepatnya saat itu Indonesia sudah mulai bertindak agak serius.

Apakah itu termasuk kebijakan terlambat? Saya rasa iya. Mengapa? Sebab, pemerintah tak segera melakukan tindakan preventif untuk menekan penyebarannya. Dari hari ke hari kasus Covid-19 makin bertambah. Dari satuan menjadi puluhan. Dari puluhan menjadi ratusan. Dari ratusan menjadi ribuan. Dalam hampir dua bulan, kasus Covid-19 di Indonesia menjadi tertinggi di ASEAN. Melihat kasus yang mengalami tren peningkatan, berbagai pihak mendorong pemerintah melakukan lockdwon. Tapi lagi-lagi juga terlambat. Kebijakan itu ditentang. Tak mau gegabah melakukan lockdwon karena dampak ekonominya fatal. Alhasil, pemerintah lebih memilih kebijakan setengah hati, yaitu PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Baca Juga:  Panglima Tertinggi Tidak Berduka Cita

Keterlambatan berikutnya adalah soal larangan mudik. Pemerintah baru melarang aktivitas mudik setelah kasus positif Covid-19 menjadi tak terkendali. Diketahui 1 juta warga mencuri start mudik dini sebelum kebijakan larangan mudik itu ditetapkan. Kecolongan? Ya tidaklah. Pemerintah memang terlambat. Barulah sekarang merasakan betapa tergagapnya negeri ini menghadapi Covid-19. Akibat terlalu santuy, easy going, dan tak bergeming. Alhasil, segala daya dan upaya semua elemen dikerahkan untuk menangani wabah. Tenaga medis juga kewalahan menghadapi kasus ini. Diantara mereka bahkan harus meregang nyawa karena segala sesuatu yang serba terlambat.

Saat negara lain berjibaku memenuhi kebutuhan paramedis sebelum pandemi, negeri ini baru kelabakan menyiapkan fasilitas kesehatan setelah kasus Covid-19 meningkat. Impor obat, APD, dan faskes lainnya baru dilakukan. Bahkan diketahui bulan Februari lalu, negeri ini masih melakukan ekspor alat kesehatan ke negara lain. Pemerintah diwajibkan mengekspor sebagian alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis ke Korea Selatan. Kewajiban itu merupakan salah satu bentuk kompensasi karena pemerintah membeli bahan baku dari Korea Selatan untuk memenuhi kebutuhan produksi 1 juta APD di dalam negeri.

Baca Juga:  Nasionalisme Adalah Sekat Atau Alat Pembelaan Terhadap Muslim Antar negara

Miris bukan? Kita sendiri kekurangan, masih harus diwajibkan ekspor ke negara lain. Benar-benar tidak mandiri. Bahan baku saja harus bergantung pada negara lain. Ini adalah bentuk keterlambatan negara dalam hal penyediaan fasilitas kesehatan. Menterinya pun terlambat menyadari ada mafia impor alkes. Mereka juga baru menyadari Indonesia tak punya kemandirian dalam industri kesehatan.

Daripada tidak, terlambat itu lebih baik. Pernah dengar kalimat ini? Tentu sangat familiar. Mending terlambat daripada tidak melakukan apa-apa. Terlambat datang ke acara atau rapat mungkin kesalahannya tidak terlalu fatal. Namun, terlambat lakukan pencegahan jelas berakibat fatal. Lebih baik tiga jam lebih cepat daripada satu menit terlambat, kata William Shakespeare. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Meski pandemik Covid-19 tak dapat dicegah masuk, setidaknya kematian karenanya bisa diminimalisir.

Saat ini menyesal tiada guna. Lakukan sebisa dan semampu kita. Maka dari itu, PSBB semestinya dievaluasi. Tuntutan pembatasan sosial semestinya dibarengi dengan suatu jaminan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan. Disuruh PSBB, tapi hidup rakyat tak ada yang menjamin. Diminta stay at home, mereka juga butuh menafkahi keluarganya. Diimbau physical distancing, namun pelaksanaannya tak seindah teorinya. Pelanggaran masih terjadi. Edukasi kurang menggugah kesadaran masyarakat. Informasi simpang siur. Antar menteri tidak satu jalur. Bikin bingung.

Baca Juga:  Geliat Ambisi Pindah Ibu Kota di Tengah Wabah

Lalu di tengah keterlambatan ini, apa yang harus dilakukan? Perbaiki kebijakan yang terkesan setengah jadi dan separuh hati. Wabah ini tak tahu laju berhentinya. Jika kebijakannya masih gini-gini saja, grafik peningkatan kasus bukan tidak mungkin bakal tembus puluhan ribu. Naudzubillah. Setiap manusia tak ada yang menginginkan sakit. Terkadang kondisilah yang mendesak mereka tak patuh protokol. Tersebab, abainya negara terhadap periayahan rakyatnya. Namun ada juga yang tipikal ngeyel dan tidak taat. Mungkin karena kebiasaan masyarakat yang ogah ribet. Sepele dan acuh. Semoga dengan berlalunya ramadan, Allah hilangkan Covid-19 dari bumi-Nya. Semoga pula penguasa cepat sadar pasca pandemik global. Tak ada untungnya terus saja melanggar aturan Allah. Tak ada gunanya mempertahankan sistem kapitalisme yang bakal ambruk. Andaikata negeri ini mau mengambil Islam sebagai aturan kehidupan, model kepemimpinan dan kebijakan yang serba terlambat tak akan terjadi.

Tulis Komentar Anda di Sini

Scroll to Top