Jika tidak saja mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof Denny Indrayana membocorkan, mustahil kita tahu akan keinginan Menko Politik, Hukum dan Keamanan Prof Mahfud MD, yang memintanya agar membantu Anies Baswedan jadi Capres. Saat meminta Denny itu, suara hati Mahfud pastilah tanpa sekat kepentingan apa pun, kecuali didasarkan pada pandangan umum agar negeri ini ke depan lebih baik lagi. Anies memang dikenalnya cukup lama.
Ayah Anies, Rasyid Baswedan, adalah kolega Mahfud saat sama-sama menjadi staf pengajar di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Meski keduanya beda fakultas. Ayah Anies di fakultas Ekonomi, dan Mahfud di fakultas Hukum. Tapi menurut penuturan Mahfud, bahwa mereka amatlah akrab. Itu disampaikan Mahfud saat hadir di sebuah podcast beberapa saat lalu. Tambahnya, Anies pernah dibawa ayahnya menemuinya, dan sang ayah mengatakan agar Anies kelak meniru pintarnya Mahfud.
Sampai di sini kita jadi tahu betapa jalinan kedekatan di antara mereka. Anies dan Prof Mahfud itu punya kedekatan khusus bahkan istimewa. Tentu kedekatan yang tak tersekat oleh kepentingan politik sesaat. Maka itu, sampai Mahfud perlu meminta Prof Denny yang dikenalnya dengan baik untuk membantu memastikan Anies jadi Capres. Kenapa sampai perlu meminta Prof Denny hal yang mestinya bisa ia lakukan sendiri, apalagi ia punya jabatan mentereng. Spekulasi pun muncul, bahwa penjegalan pada Anies itu dahsyat, maka perlu ia ajak pihak lain menjaga untuk memastikan Anies bisa ikut kontestasi Pilpres 2024.
Tidak persis tahu kenapa Denny membocorkan hal yang mestinya jadi rahasia itu pada publik. Bocoran Denny itu dibenarkan oleh Mahfud, bahwa ia memang mengatakan pada Denny hal demikian. Bahkan ditambahkan pula, bukan hanya pada Denny saja hal itu dipesankan, tapi ia juga titipkan Anies pada Presiden PKS Ahmad Syaikhu.
Tidak persis tahu apakah langkah Prof Denny Indrayana yang lalu gas pol membombardir pemberitaan, itu karena ia tengah menjalankan amanah yang diberikan Prof Mahfud, atau memang ia melihat ada hal tidak beres untuk menjegal Anies. Karenanya, ia perlu suarakan dengan caranya. Maka, pilihannya membocorkan upaya sistemik yang dirasakannya, itu bagian dari penjegalan pada Anies, baik langsung maupun tidak langsung.
Prof Denny mengawalinya dengan membocorkan keputusan MK, yang belum dibacakan hasilnya ke publik, berkenaan diterimanya uji materi atas pelaksanaan Pemilu dengan sistem Proporsional Tertutup. Bahkan bocoran Denny ini sampai menyebut hasil voting, berapa anggota MK yang setuju dengan sistem Proporsional Tertutup, dan berapa yang menolak.
Prof Denny tidak menyebutkan dari siapa ia terima bocoran keputusan MK itu. Hanya ia katakan, bahwa ia terima dari sumber yang kredibel bisa dipercaya. Dan, Prof Mahfud justru tampak menjadi orang paling meradang atas pilihan Prof Denny membocorkan keputusan MK yang belum resmi diumumkan. Sampai ia perlu meminta polisi menyelidiki dari mana sumber informasi yang didapat Denny itu. Disebutnya pula, bahwa Denny bisa terkena sanksi melanggar membocorkan Undang-undang kerahasiaan negara. Bla bla bla…
Melihat Prof Mahfud meradang, itu hal yang semestinya ia lakukan. Dan, ia memang terbilang pejabat tingkat menteri yang tergolong aktif berceloteh, mengomentari apa saja yang menyangkut wilayah kerjanya. Seperti baru ia saja yang melakukan hal demikian, bahkan terkesan berlebihan. Tapi itu tidak masalah, setidaknya mengesankan bahwa yang ia lakukan itu juga keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sebelumnya, Mahfud dengan gagahnya membongkar mega skandal Rp 349 Trilyun di Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, membuat kehebohan tersendiri. Setelah itu seperti tidak ada kejelasan lebih lanjut tentang mega skandal itu. Hilang seperti ditelan bumi. Menjadikan orang menduga bahwa itu sekadar permainan Prof Mahfud menjelang Pemilu. Banyak lalu yang menyangkutpautkan apa yang dilakukan Mahfud itu tidak terlepas keinginan lamanya yang tertunda, agar ia bisa dilirik setidaknya sebagai Cawapres potensial, yang bisa berkontestasi dengan yang lain. Kesan “membongkar” mega skandal, meski cuma menggedor pintunya saja, setidaknya itu yang ingin “dijualnya”, bahwa ia pejabat berani dan bersih.
Saat Ahmad Syaikhu, Presiden PKS, mendatangi Prof Mahfud di rumah dinasnya, ada tawaran untuknya jika saja ia bersedia disandingkan dengan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024. Tapi Mahfud menolaknya, dan itu wajar. Bukan karena tawaran itu tidak seksi, tapi tentu Mahfud menghitung Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), itu penentunya bukan cuma PKS, tapi ada partai koalisi lain yang belum tentu setuju dengan tawaran PKS mengajukan dirinya.
Prof Mahfud menghitungnya cermat, dan menolak “pinangan” PKS, itu memang selayaknya. Ditambah lagi pastilah ia akan terima tentangan istana yang dahsyat, jika coba-coba nekat berjalan tidak sesuai dengan kemauan Presiden Jokowi. Pertaruhan itu pastilah dahsyat, dan Mahfud sudah memperhitungkan kekuatan yang dengan keras akan mengganjalnya. Risikonya terlalu besar jika ia nekat menerima pinangan yang belum digodok matang di KPP, dan yang hanya sekadar keinginan PKS semata.
Tapi meski demikian, Mahfud perlu menitipkan pesan agar PKS “menjaga” dan memperjuangkan Anies untuk bisa dicapreskan. Soal ini tidak perlu “dibuka” oleh Ahmad Syaikhu, Mahfud memilih menyampaikannya sendiri, itu setelah Prof Denny Indrayana mengungkap bahwa Mahfud memintanya untuk bantu Anies Baswedan.
Tentu apa yang disampaikan Prof Mahfud, soal ia juga “menitipkan” Anies pada Ahmad Syaikhu, tentu bobot pemberitaannya tidak sedahsyat apa yang “dibocorkan” Prof Denny Indrayana. Apa yang disampaikan Prof Denny, itu bisa ditarik pada berbagai tafsir susulan. Salah satunya, bahwa diam-diam Prof Mahfud menaruh minat yang besar pada terpilihnya Anies Baswedan. Maka, ia sampai perlu “menitipkan” Anies Baswedan yang dikenalnya dengan baik itu untuk diperjuangkan.
Selanjutnya, Prof Denny dari Melbourne terus membombardir lewat pernyataan tertulisnya. Bahwa ada upaya Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan Peninjauan Kembali (PK) Moeldoko, yang itu ditukar guling dengan kasus hukum pejabat MA di Kejaksaan. MA memenangkan Moeldoko, itu sarat politik ketimbang hukum, dan itu upaya menjegal Anies untuk bisa dicapreskan. Jika apa yang dibocorkan Prof Denny itu terbukti, maka caplok-mencaplok partai politik oleh penguasa, itu akan terus berulang. Dan, itu lonceng matinya demokrasi. Hanya untuk menjegal agar Anies tidak sampai dicapreskan, maka segala cara absurd di negara demokrasi itu bisa dilakukan, dan dengan semena-mena.
Pantas saja jika Prof Mahfud sampai perlu nitip memastikan Anies bisa ikut dicapreskan, karena begitu dahsyatnya upaya penjegalan Anies itu. Langkah yang dilakukan Prof Mahfud itu manusiawi, dan itu sulit bisa dihindarkannya. Maka langkahnya itu bukan hal terlarang. Itu suara hatinya, yang itu bisa dialami siapa saja. Mustahil suara hati itu bisa dibendung. Maka, meminta untuk menjaga Anies, itu ikhtiar yang bisa dilakukannya.
Meski setelah Prof Denny Indrayana “membocorkan” pesan itu, Prof Mahfud perlu membela diri seperlunya. Bahwa ia meminta untuk menjaga, itu agar pemerintah tidak dianggap bagian dari yang menjegal Anies. Prof Mahfud tentu tidak sedang berkelit apalagi berselancar ngeles ombak, tapi jelas ia berupaya agar apa yang diikhtiarkan meminta pada Prof Denny untuk menjaga Anies, itu tidak disalahpahami. Ia hanya ingin memastikan, bahwa Anies tidak sampai dijegal, dan ia tidak mau pemerintah yang lalu dituduh sebagai pihak yang menjegal. Sedang saya sendiri menangkap pesan tersirat, bahwa Prof Mahfud MD itu punya keinginan kuat agar ke depan negeri ini dipimpin pemimpin yang selayaknya. Dan, itu Anies Baswedan… Wallahu a’lam.**
Ady Amar, Kolumnis