Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, mengaku heran dengan keputusan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa eks Ketua BEM Universitas Cenderawasih, Ferry Kombo, dan enam rekannya dengan pasal tindak pidana makar. Padahal, kata dia, Ferry Kombo dkk adalah korban rasisme yang menyuarakan pendapat di muka umum.
Menurut Pigai, tuntutan Jaksa itu menyimpang dari fakta persidangan dan tak menunjukkan adanya keadilan. Ia meminta agar JPU meninjau ulang keputusan tersebut.
“Karena itu justru negara menjustifikasi rasisme dan Papua phobia. Ini sudah tidak adil. Injustice,” kata Pigai kepada Indonesiainside.id, Senin (8/6).
Terlebih lagi, kata dia, pihak yang dituntut adalah korban rasisme di Surabaya. Ia mengatakan keputusan tersebut akan menjadi catatan bagi orang Papua.
“Saya mau tegaskan kepada Presiden Jokowi, jaksa, dan hakim bahwa mereka adalah korban rasisme yang melakukan perlawanan terhadap antirasialisme. Korban rasisme dihukum pasal makar, sedangkan rasisme dihukum 8 bulan penjara. Begitu juga dengan aparat, sultan, Wakil Wali Kota Malang, dan lain-lain di Jawa tidak dihukum. Rakyat Papua akan hitung ini,” ucap Pigai.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai Ferry Kombo dkk tidak memenuhi syarat makar seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tiga perbuatan yang dinilai makar adalah; pertama, perbuatan upaya membunuh presiden dan wakil presiden, sebagaimana tercantum dalam pasal 104. Kedua, memisahkan diri dari NKRI sebagian atau seluruh wilayah, termaktub dalam Pasal 106. Ketiga, menggulingkan penerintahan secara tidak sah atau Ilegal, tertulis dalam Pasal 107 KUHP.
Indonesia, kata dia, mengenal perebutan kekuasaan secara sah melalui pemilihan umum (Pemilu) atau Impeachment/pemakzulan terhadap presiden/wapres jika mereka melanggar hukum. Menurut dia, jika Ferry Kombo memenuhi unsur ketiga atau salah satu pasal makar, maka secara juridis bisa diproses.
“Tetapi jika hanya menyatakan pendapatnya tentang pengelolaan sebuah negara itu bukan makar, dalam konteks negara hukum demokrasi itu termasuk kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapat. Jadi konyol jika terhadap orang yang kritis dilakukan penuntutan, itu namanya kriminalisasi oleh rezim yang paranoid,” kata Fickar kepada Indonesiainside.id, Senin (8/6).
Sebelumnya, Ferry Kombo didakwa pasal makar dengan tuntutan 10 tahun penjara. Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum menuntut Ferry dan enam tahanan politik Papua lainnya dengan hukuman bervariasi.
Ketua BEM universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) Alex Gobay dituntut 10 tahun penjara, Hengky Hilapok dituntut 5 tahun penjara, Irwanus Urobmabin dituntut 5 tahun penjara. Kemudian, Wakil Ketua II badan Legislatif United Liberation Movement for West papua (ULMWP) Buchtar Tabuni dituntut 17 tahun penjara, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay dituntut 15 tahun penjara, dan Ketua Umum Komite Nasional Papua barat (KNPB) Agus Kossay dituntut 15 tahun.
Ferry dan keenam rekannya itu kini dititipkan di Rumah Tahanan Klas II B Balikpapan, Kalimantan Timur dengan alasan keamanan. Mereka menjalani proses peradilan dengan berkas yang berbeda satu sama lain di Pengadilan Negeri Balikpapan sejak januari 2020 lalu. (SD)
Sumber: indonesiainside.id