Jeritan Rakyat Kecil di Tengah Peliknya Situasi Politik: Bersusah Payah Bertarung dengan Tingginya Harga Bahan Pokok

Jeritan Rakyat Kecil di Tengah Peliknya Situasi Politik: Bersusah Payah Bertarung dengan Tingginya Harga Bahan Pokok ( Foto: kompas.com )

Rakyat kecil seperti bertarung sendirian menghadapi tingginya harga bahan pokok sejak beberapa bulan terakhir.

Harga sejumlah komoditas pangan di pasar yang ada di DKI Jakarta masih tinggi seiring panasnya situasi politik dalam negeri.

Kondisi ini sebetulnya sudah diingatkan oleh para ekonom sejak awal tahun. Mereka sudah memperkirakan lonjakan harga pangan menjelang tahun politik ini.

Hal ini terbukti. Para pedagang kaki lima turut merasakan imbasnya. Kondisi ini menuntut mereka harus “memutar otak” agar dagangan mereka tetap laku dengan harga yang masih terjangkau.

Pedagang bakso malang bernama Lukman (31) kebingungan. Harga bahan baku sudah naik. Ia terpaksa menaikkan harga dagangannya dari Rp12.000 menjadi Rp15.000 per mangkuk.

“Saya beli bakso jadi. Biasanya harganya Rp 25.000 satu pak, ini jadi Rp 36.000,” kata Lukman saat diwawancarai Kompas.com di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2023).

Begitu juga dengan pedagang gorengan, Idah (45). Dia mengeluhkan harga cabai rawit yang melonjak hingga Rp 70.000-75.000 per kilogram di Pasar Senen.

“Mahal banget, sudah beberapa minggu. Makanya saya sekarang tanya dulu, mau pakai cabai atau enggak. Kalau saya kasih ternyata dia enggak makan kan, sayang. Uang itu,” celetuk Idah.

Selain itu, kata Idah, harga sayuran juga naik sekitar Rp 2.000-3.000. Hal itu membuat Idah menaikkan harga gorengannya.

Hal senada dirasakan pedagang lontong sayur bernama Hasanudin (20). Ia merasakan harga beras melonjak dari Rp 14.000-15.000 menjadi hingga Rp 18.000 per kilogram.

Kendati demikian, Hasanudin pasrah dengan harga yang naik. Dia juga tidak ingin menaikkan harga jualannya. Sebab, dia ingin mempertahankan langganan.

Ketiganya berharap harga pangan bisa kembali normal agar meringankan beban ekonomi mereka.

“Zaman sekarang susah, jangan dibuat tambah susah lah,” timpal Idah.

Pasar juga cenderung sepi

Tingginya harga bahan pokok berimbas pada sepinya pengunjung pasar tradisional, misalnya di Pasar Koja Baru, Jakarta Utara.

Menurut salah satu pedagang bernama Philips (37), hal tersebut karena harga pangan di Pasar Koja Baru yang tidak stabil sejak enam bulan terakhir.

“Daya beli, untuk harga ini tidak stabil, jelas menurun, enggak mungkin enggak. Semua tempat kayaknya jelas menurun. Karena harga enggak menentu,” kata Phillips.

“Baik itu bawang, cabai, dan lain-lain. Jadi, untuk yang akan datang, tolong distabilkan, supaya daya beli masyarakat juga bisa meningkat lah,” kata Phillips.

Berdasarkan Info Pangan Jakarta, harga sejumlah komoditas pangan memang masih mengalami kenaikan. Harga cabai merah keriting misalnya, rata-rata sudah menembus Rp52.833 per kilogram (kg).

Kemudian, harga rata-rata cabai rawit merah dan cabai rawit hijau masing-masing sudah menembus Rp70.209 per kg dan Rp55.750 per kg. Harga telur ayam ras juga masih Rp26.476 per kg.

Tuntutan kestabilan harga pangan

Philips memiliki harapan terhadap pemimpin Indonesia yang nantinya terpilih dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) mendatang.

Seperti diketahui, tiga pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden sudah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa waktu lalu.

Philips hanya ingin presiden mendatang bisa menstabilkan harga pangan dan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia.

“Untuk para pemimpin yang nantinya terpilih, kalau bisa, stabilkan harga pangan dan kebutuhan dasar masyarakatlah. Soalnya harganya enggak stabil,” ungkap Phillips.

Jika harga-harga tersebut stabil, menurut dia, bisa meningkatkan kembali daya beli masyarakat di pasar-pasar tradisional.

Ancaman di tengah pemilu

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, kenaikan harga pangan merupakan ancaman terbesar bagi masyarakat menjelang Pemilu 2024.

Sejauh ini, Bhima menilai visi misi calon persiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres) 2024 masih sangat normatif, terlebih soal masalah pangan ini. Ia berharap program dan aksi mereka bisa lebih kongkrit dan terukur.

“Kalau perlu janji kampanye 100 hari pertama jika terpilih bisa turunkan harga beras kembali ke 2022, dengan catatan petani tetap untung,” ucap Bhima kepada Kompas.com, Senin (23/10/2023).

Artinya, kata dia, pemerintah perlu memberikan tambahan subsidi pupuk, pengaturan harga bahan bakar, hingga mendorong daya beli masyarakat lebih tinggi.

Bhima berujar, dalam berbagai survei menunjukkan sebagian besar pemilih mengeluh soal mahalnya harga pangan yang disusul dengan masalah lapangan kerja.

“Biaya pengangkutan beras naik menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pupuk non-subsidi juga mahal, ada faktor cuaca ekstrem,” ucap Bhima.

Belum lagi, kata dia, ada ancaman pelemahan kurs rupiah menimbulkan inflasi barang-barang dari luar negeri (imported inflation) karena sebagian pangan dalam negeri merupakan impor.

“Di sisi lain, pendapatan masyarakat khususnya menengah ke bawah makin tidak mampu mengimbangi kenaikan harga pangan,” ucap Bhima.

Dalam situasi ini, kata Bhima, pemerintah dinilai lamban mengatasi masalah pangan. Hal ini membuat impor pangan menjadi salah solusinya.

Dengan demikian, Bhima berujar topik utama Pemilu 2024 yang paling ingin didengar masyarakat adalah solusi soal ketersediaan dan stabilitas harga pangan.

“Masing-masing kandidat capres perlu mendorong terus solusi-solusi aplikatif, tidak sekedar jargon pangan murah,” ucap Bhima.

Sumber: kompas.com

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan