Eks Gubernur Nusa Tenggara Barat, TGB Muhammad Zainul Majdi menjadi sorotan saat ini. Penyebabnya, TGB mengeluarkan video yang mengkritik balik Anies Baswedan saat memaparkan data tentang pembangunan infrastuktur jalan di era Presiden Joko Widodo.
“Ahli tafsir alumni Al-Azhar University ini tak sadar dimainkan kekuasaan untuk membentengi rezim atas kritik Anies yang tajam dan menohok. Sangat disayangkan, kritik Tuan Guru Bajang terhadap pidato Anies di Puncak Milad Ke-21 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) justru tak akurat dan valid,” kata Moch. Eksan, Kader NU Jatim asal Jember.
Menurutnya, pembelaan TGB terhadap Jokowi malah semakin menjatuhkan Jokowi. “Bahwa pembangunan infrastruktur jalan yang dibanggakan oleh pemerintah sekarang tak lebih baik dari pemerintah sebelumnya,” tegas Eksan.
Eksan menjelaskan ada benarnya, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Leo Alvinda Putra, menyebut Jokowi The King of Lips Service. Sebab, antara pernyataan dan kebijakannya tak berbanding lurus.
“Sesama mantan gubernur yang pernah mengelola pemerintahan propinsi, sebenarnya Anies dan Tuan Guru Bajang terbiasa membaca data dengan cermat dan teliti dalam membuat pernyataan dan kebijakan. Namun kali ini, Anies lebih jernih dalam mengemukakan data yang ada,” papar Eksan.
Masih kata Eksan data dalam bahasa Latin dan Inggris “Datum” yang berarti fakta. Suatu kejadian yang dioleh dan bisa memberikan diskripsi dan klasifikasi atas suatu peristiwa. Data jalan desa telah memberi gambaran dan pembandingan obyektifitas Anies sangat tinggi dan subyektifitas Tuan Guru Bajang sangat tinggi pula.
“Barang tentu, obyektifitas Anies dan subyektifitas Tuan Guru Bajang tak sama dalam melihat praktik kekuasaan. Kekuasaan yang cenderung disalah gunakan serta memutarbalik fakta yang lazim dalam pencitraan politik, akal dan nurani dua Muslim taat ini pasti berbeda. Yang disebut pertama sulit menerima dan yang disebut kedua malah mudah menerimanya,” cetusnya.
Eksan kemudian mencontohkan manuver Anies dalam menjalankan misi kepemimpinan, masih tetap di atas jalan independen. Ia tetap jadi diri sendiri dan tak pernah berubah menjadi partai politik apa pun dalam merebut dan menjalankan kekuasaan.
“Sementara Tuan Guru Bajang sebaliknya. Ia sudah berpindah-pindah partai empat kali. Pertama Partai Bulan Bintang, kemudian Partai Demokrat, terus Partai Golkar, dan keempat Partai Perindo,” lanjut Eksan.
Memang beber Eksan di era multipartai, gonta-ganti partai lumrah dan kaprah. Namun, pindah partai pada partai lain dalam waktu sangat dekat, menurut Ahli Tata Negara LIPI Ikrar Nusa Bhakti, adalah politisi kutu loncat. Mereka politisi pragmatis yang lebih menghitung kekuasaan dengan keuntungan bukan perjuangan menyebar kebaikan.
“Tuan Guru Bajang kurang bisa menjaga marwah kekuasaan. Sehingga lebih nyaman berada di ketiak penguasa dari pada berjuang bersama rakyat yang berhadapan dengan rezim. Idealismenya seringkali kalah atas dorongan pragmatisme demi eksistensi dan keberlanjutan kekuasaannya,” imbuhnya.
Anies tambah dia memilih idealisme untuk meluruskan jalan dan menghadirkan keadilan. “Kritiknya terhadap pembangunan jalan berbayar dan jalan nasional, propinsi dan kabupaten/kota membuat penguasa tak nyaman. Publik akhirnya menjadi tahu, bahwa Jokowi hanya unggul dalam pembangunan jalan tol. Sementara, jalan umum, Jokowi tertinggal jauh dari capaian pembanguan jalan SBY,” pungkas Pendiri Eksan Institut ini.
Sebelumnya pada Situs Setkab.go.id disebutkan, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan selama 2007-2013 berhasil membangun 520.878 unit jalan sepanjang 650.978 km. Program jalan desa SBY ini dua kali lipat lebih panjang dari jalan desa Jokowi. (kba)
Sumber: kbanews