Guru Besar Politik Islam FISIP UIN Jakarta, Din Syamsuddin mengatakan, adanya pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh KSP Moeldoko atas kasus klaim kepemimpinan Partai Demokrat patut dinilai merusak demokrasi Indonesia.

Bagaimana tidak, kata mantan Ketum PP Muhammadiyah itu, seseorang yang bukan anggota partai dan tidak memiliki kartu anggota yang sah dapat merebut keketuaan partai, dan setelah dinyatakan salah oleh pengadilan masih mengajukan PK ke Mahkamah Agung (MA).

“Apalagi, menurut berita, dia tidak mendasarkan PK-nya atas novum (bukti baru),” kata Din Syamsuddin dalam pernyataan resminya dikutip KBA News, Rabu, 7 Juni 2023.

Menurutnya, ini dapat dinilai dari sudut etika politik sebagai pembajakan demokrasi, yaitu seseorang melalui rekayasa permusyawaratan merebut kepemimpinan partai.

“Dan setelah dinyatakan kalah oleh pengadilan masih ngotot mengajukan PK tanpa bukti baru yang meyakinkan,” ujarnya.

Mungkin, lanjut Din, pihak Moeldoko ada keyakinan bahwa MA akan mengabulkannya mengingat posisinya yang strategis di lingkungan Istana Presiden Jokowi, yaitu sebagai Kepala Staf Presiden atau KSP.

“Namun publik meyakini bahwa para hakim yang berkomitmen kepada kebenaran dan kejujuran di Mahkamah Agung tidak akan mengabulkannya,” ujarnya.

Sebelumnya, upaya pengambilalihan kepemimpinan Demokrat yang melibatkan KSP Moeldoko diawali konferensi pers yang digelar Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono pada 1 Februari 2021 lalu.

Setelah itu, Kongres Luar Biasa atau KLB digelar di Deli Serdang dan menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum pada 5 Maret 2021.

Tapi, Menkumham Yasonna H Laoly mengumumkan sudah menolak permohonan pengesahan kepengurusan Demokrat versi KLB Deli Serdang pada akhir Maret 2021.

Setelah itu, berbagai gugatan dan upaya hukum pun dilayangkan kubu Moeldoko untuk mendapatkan legalitas. Tapi berulang kali juga ditolak pengadilan.

Moeldoko sempat menggugat Menkumham ke PTUN DKI Jakarta terkait dengan penolakan pengesahan perubahan susunan kepengurusan DPP Partai Demokrat masa bakti 2020-2025 dan pengesahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat. Namun, gugatan itu kandas.

PTUN mengaku tak memiliki kewenangan dalam mengadili perkara yang menyangkut hal itu. Upaya hukum Moeldoko juga kandas di tingkat Pengadilan Tinggi TUN dan MA hingga akhirnya Moeldoko mengajukan PK.

Sumber: kbanews

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan