Selain menyinggung tentang cawe-cawe Jokowi terkait dengan kepentingan nasional, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono juga mengulas soal informasi bahwa Presiden RI ke-7 tersebut hanya menghendaki dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, bukan tiga apalagi empat pasangan, pada Pemilu Presiden 2024 mendatang.

Dalam bukunya berjudul “Pilpres 2024 & Cawe-cawe Presiden Jokowi, The President Can Do No Wrong,” SBY menilai tidak ada yang salah dari sikap kepala negara tersebut. Karena siapa pun di negeri ini, termasuk presiden, tidak dilarang untuk punya kehendak dan harapan. “Nothing wrong with him,” tulis SBY dikutip KBA News dari bukunya, Selasa, 27 Juni 2023.

Menurutnya bisa saja Jokowi akan melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut. Bahkan apabila Jokowi meminta para pimpinan parpol yang tergabung dalam Kabinet Kerja dan para ketua umum parpol yang mayoritas adalah menteri dan sepenuhnya mengikuti yang disampaikan presidennya, menurut SBY, tidak boleh kepala negara tersebut langsung divonis telah melakukan tindakan yang salah atau buruk.

Karena bagi dia, yang bisa membuat cawe-cawe Jokowi menjadi bermasalah apabila beliau melakukan tindakan (bersama dengan pembantu-pembantunya) yang dinilai melanggar hukum dan atau menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) guna mencegah terjadinya pasangan capres-cawapres yang ketiga.

“Apabila Pak Jokowi bersama pembantunya-pembantunya bekerja secara ‘all out’ agar para pemimpin parpol yang berada dalam koalisi pemerintahan Presiden Jokowi tidak membentuk pasangan ketiga disertai semacam ancaman, ya inilah yang bisa menjadi masalah,” ungkap Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat ini.

Misalnya, dia mencontohkan, sejumlah pemimpin parpol “diancam”, baik langsung maupun tidak langsung, akan diperkarakan secara hukum dan akan masuk ke ranah pengadilan jika mereka tidak menuruti keinginan Jokowi. Karena konon Jokowi dan pembantu-pembantunya merasa mengantongi kasus-kasus pelanggaran hukum dari para pemimpin parpol tersebut.

“Kalau hal ini benar-benar terjadi, atau ya memang begitu yang terjadi, ini akan menjadi kasus yang serius,” ungkap Presiden RI dua periode ini (2004-2014) ini.

Sebab, dia melanjutkan, jika benar ada ancaman hukum tersebut berarti Presiden Jokowi telah melakukan “politik tebang pilih”. Bagi yang mengikuti beliau aman, sebaliknya yang mbalelo akan segera dijadikan tersangka dan masuk proses hukum. “Ini tidak bisa mencegah tuduhan kepada Presiden Jokowi sebagai tidak etis dan tidak adil,” katanya.

Bahkan dia melanjutkan Jokowi akan dinilai telah mengingkari sumpah jabatan presiden. Apalagi Jokowi dua kali mengucapkan sumpah jabatan yang antara lain berbunyi “akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya” yaitu pada 2014 dan 2019.

SBY menjelaskan para pencinta keadilan juga akan mendorong hukum ditegakkan sebagaimana yang berlaku kepada warga negara Indonesia mana pun kalau para pembantunya memang terlibat dalam pelanggaran hukum yang serius.

“Ingat prinsip-prinsip penegakan hukum yang berlaku secara internasional, yang berbunyi no one is above the law atau juga the law is applied equally and fairly,” paparnya.

Bahkan, lanjut SBY, yang lebih serius adalah jika seorang presiden menghalang-halangi sebuah penegakan hukum. Karena itu masuk dalam definisi “obstruction of justice”. Obstruction of justice ini sebuah tindak pidana (crime). Di negara manapun ada sanksi hukumannya.

Dalam UU tentang Tipikor di Indonesia misalnya, perbuatan menghalang-halangi proses hukum yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi, diancam dengan hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun.

“Kalau hal ini terjadi di negara yang sama-sama kita cintai ini, pantaslah kalau ada kata-kata sumbang bahwa hukum bisa dipermainkan. Negara seperti ini sering dicap bahwa yang menjadi panglima bukan kebenaran dan keadilan, tetapi politik dan kekuasaan,” tegas SBY.

Sebagaimana diketahui belakangan ini memang santer opini yang berkembang di masyarakat bahwa Presiden Jokowi menginginkan pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. Apalagi disampaikan para pengamat dan politikus yang dianggap dekat dengan kekuasaan. Misalnya disampaikan pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jusuf Wanandi.

“Maka itu saya kira koalisi pendukung keberlanjutan pemerintahan Jokowi ini tidak akan membiarkan lebih dari dua pasangan capres dan cawapres. Karena terlalu banyak risiko,” ujar Jusuf di program Rosi KOMPAS TV bulan lalu.

Karena itu dia pun meragukan akan ada partai koalisi pemerintah yang mengikuti NasDem bergabung ke Koalisi Perubahan untuk Persatuan mengusung Anies Baswedan sebagai Capres 2024. “Pengaruh Istana [Jokowi] masih sangat kuat. Jangan kira Istana tidak bisa mencegah itu,” ujarnya.

Bahkan penjelasan yang lebih tegas disampaikan Ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP Romahurmuziy. Politikus yang pernah tersandung kasus korupsi ini menyebut yang akan berlaga nanti adalah all president’s men alias yang direstui oleh Istana. Yaitu, duet Ganjar Pranowo – Sandiaga Uno dan Prabowo Subianto – Erick Thohir. Dia menjelaskan Jokowi turun langsung menyiapkan skenario tersebut.

“Satu skenario kan sudah selesai Ganjar sebagai capres. Dia (Jokowi) harus garap dong Prabowo sebagai capres. Dan ini yang sedang diperankan presiden hari ini. Beliau harus memerankan bagaimana mengendorse Ganjar. Jadi itu sudah selesai kan. Tugas 1A ini udah selesai. 1B (cawapres Ganjar) nya simpan dulu. 2A-nya belum, jadi sekarang ini bicara 2A mengendorse capres yang kedua,” tutur Rommy, sapaannya dilansir Detik.com 7 Juni 2023.

Sementara soal Anies yang sudah didukung NasDem, Demokrat, dan PKS apakah akan benar-benar maju, dia menjelaskan tinggal ditunggu saja apakah serius tiga partai tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) akan mendukung.

“Apakah kemudian akan bersama Anies atau tidak, ya kita tunggu apakah deklarasi yang rencananya konon pertengahan Juli nanti dari koalisi perubahan. Ini berlangsung atau tidak, kan tinggal kita tunggu saja itu,” ujarnya.

Baca Juga:  Raih Dukungan Tambahan dari 3 Parpol Lokal Aceh, Gelombang Perubahan Kian Deras Mengalir dari Serambi Mekkah

Bagian dari skenario all president’s men yang akan bertarung ini, makanya Anies diduga akan berupaya dijegal. Salah satunya dengan menerapkan politik stick (ancaman, hukuman) and carrot (janji, hadiah) kepada tiga partai pengusung NasDem, Demokrat, PKS.

Upaya Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ke Mahkamah Agung (MA) terkait kepengurusan DPP Partai Demokrat serta berbagai kasus hukum yang mencuat membelit sejumlah politikus NasDem dianggap bagian dari skenario setelah gagal mengiming-imingi keduanya.

Kalau kedua cara ini gagal, upaya terakhir dinilai akan dilakukan adalah lewat KPK dengan menjerat Anies dalam kasus Formula E. Langkah ke arah itu dinilai semakin terbuka seiring dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK empat tahun menjadi lima tahun.

Dengan keputusan itu, masa jabatan Firli Bahuri Cs yang sedianya akan berakhir tahun ini diperpanjang hingga tahun depan mengingat mereka baru menjabat empat tahun.

“Ini semacam upaya terakhir untuk menjegal Pak Anies untuk menjadi calon presiden. Kalau kita lihat, putusan ini super aneh,” kata pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, dikutip KBA News dari YouTube @Bambang Widjojanto, Senin, 19 Juni 2023.

Ia menduga, nantinya jika Anies berpotensi menang di pesta demokrasi lima tahunan nanti, maka “jurus” tersebut akan dikeluarkan oleh KPK untuk menjerat Anies Baswedan. “Karena kelima pimpinan KPK ini adalah orang yang sangat ingin Anies menjadi tersangka, meskipun sudah 19 kali gelar perkara, sama sekali belum menemukan alat bukti,” tandasnya.

Meski demikian, sebelumnya baik pihak Istana, KPK, maupun MK sudah kerap membantah berbagai tuduhan adanya motif politik untuk menjegal Anies Baswedan.

Sumber: kbanews

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan