Oleh: Vikhabie Yolanda Muslim
Problematika seputar jaminan kesehatan nasional merupakan perkara yang tidak ada habisnya di negeri ini. Rakyat pun menjadi penonton setia sekaligus korban dari ketidakberdayaan negara dalam memberikan kebijakan untuk jaminan kesehatan, yang dalam hal ini diserahkan pada BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Sebelumnya seperti yang telah kita ketahui bersama, Mahkamah Agung resmi membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Hal Ini seiring dikabulkannya peninjauan kembali (judicial review) untuk membatalkan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres 75 tahun 2019. Dari keterangan Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro putusan ini sudah keluar sejak tanggal 27 Februari lalu (katadata.co.id).
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menyayangkan keputusan tersebut lantaran dapat memengaruhi ketahanan lembaga asuransi negara. Ia menuturkan keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang tertuang dalam perpres tersebut diambil pemerintah tentu dengan mempertimbangkan aspek-aspek penting. Adapun aspek tersebut, salah satunya yakni keberlangsungan program jaminan kesehatan nasional dan keadilan. Ia menyebut saat ini terdapat 96,8 juta masyarakat yang dianggap tidak mampu dan dibayarkan negara. Sehingga bagi yang mampu diminta untuk ikut bergotong-royong (katadata.co.id).
Ibarat terombang ambing pada pusaran gelombang, rakyat lagi-lagi diseret dalam arus kebingungan dan ketidakpastian yang tak bertepi. Pertanyaan yang seringkali muncul dalam benak segenap rakyat ialah, dimanakah peran negara? Lantas dalam hal ini, ada beberapa hal yang menjadi perhatian kita terhadap program jaminan kesehatan nasional yang selama ini bertumpu pada BPJS.
Yang pertama ialah hal ini menunjukkan bukti bahwa BPJS bukanlah jaminan kesehatan yang benar-benar disediakan oleh pemerintah untuk rakyat. Mengapa? Karena pada dasarnya, BPJS mempunyai prinsip gotong royong yakni dengan melibatkan pembayaran peserta yang mampu ke peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat. Lantas dalam hal ini, rakyatpun diberikan beban punggung tambahan. Rakyat diminta memeras keringat lebih giat untuk memenuhi iuran kepesertaan. Terlepas bagi yang sehat ataupun yang sakit. Belum lagi ditambah denda yang memberatkan jika menunggak dalam pembayaran. Maka pada hakikatnya, negara tidak menunjukkan peran secara total dalam mengatasi berbelitnya masalah jaminan kesehatan nasional.
Yang kedua, yakni polemik naik atau tidaknya iuran BPJS, defisit dalam tubuh BPJS akan terus melilit dan menggerogoti. Hal ini disebabkan biaya operasional yang dibayarkan oleh masing-masing peserta tak mampu mengcover seluruh biaya perawatan yang ditagihkan oleh rumah sakit. Besaran klaim/pembayaran yang dibayarkan perusahaan ke fasilitas kesehatan (RS, Puskesmas, klinik, dan lain-lain) selalu lebih membengkak ketimbang iuran yang diterima dari para peserta. Selama kondisi dalam sistem iurannya seperti itu dan tak ada peran nyata negara, meski kenaikan iuran hingga 100%, BPJS akan terus mengalami defisit.
Kemudian yang ketiga, sistem pembayaran iuran BPJS ini benar-benar ibarat pemalakan besar-besaran pada rakyat. Rakyat mau tidak mau, sanggup atau tidak, dipaksa menjadi peserta BPJS kesehatan dengan dalih keikutsertaan sebagai peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Nyatanya, BPJS sendiri ialah asuransi, bukan jaminan sosial yang harusnya tak berbayar alias gratis serta menjadi tanggung jawab negara secara penuh.
Lalu yang keempat, problem defisit yang melilit semakin menampakkan cermin pengelolaan yang buruk dalam sistem kapitalis-sekuler. Pasalnya, iuran yang dibayarkan dan dikelola oleh BPJS pun tidak semuanya murni digunakan untuk memfasilitasi kesehatan. Menurut UU, sebagian dari dana yang dikelola BPJS diinvestasikan pada investasi dalam negeri baik instrumen deposito, saham, dan lain-lain. Maka sistem inipun alhasil berhasil mencekik dan memeras keringat rakyat untuk mendanai negara.
Maka sudah seharusnya negara menunjukkan peran dan tanggung jawabnya secara nyata dan total dalam menjamin kesehatan rakyat yang termasuk dalam kebutuhan dasar manusia. Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas publik yang murni harus diperuntukkan demi kemaslahatan seluruh rakyat. Fasilitas publik wajib disediakan oleh negara secara gratis sebagai bagian dari pengurusan negara atas rakyatnya. Sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari).
Maka berbeda halnya dengan pelayanan kesehatan pada sistem khilafah. Yang telah terbukti merupakan pelayanan kesehatan terbaik sepanjang masa, dilingkupi dengan atmosfir kemanusiaan yang begitu paripurna. Hal ini karena negara benar-benar hadir sebagai institusi yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, termasuk bertanggung jawab secara totalitas dan nyata terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan gratis dan berkualitas pada setiap individu. Sebab Rasulullah swt telah menegaskan yang artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia ialah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Kehadiran negara sebagai pelaksana syariat Islam secara total, khususnya dalam mengelola aset kekayaan negara, menjadikan negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan berbagai fungsi dan tanggung jawabnya. Tak terkecuali tanggung jawab dan peran negara dalam menjamin pelayanan kesehatan. Dalam hal ini yang diterapkan ialah konsep anggaran mutlak, yakni berapapun biaya yang dibutuhkan harus dipenuhi oleh negara untuk kemaslahatan ummat. Karena negara ialah pihak yang berada di garda terdepan dalam pelayanan kesehatan ummat.
Inilah fakta pelayanan kesehatan Khilafah yang pernah diterapkan dunia serta diukir dengan tinta emas sejarah peradaban agung. Pelayanan kesehatan terbaik yang diterapkan ummat saat itu, buah penerapan sistem kehidupan Islam yang mulia, penerapan Islam secara total dan menyeluruh dalam bingkai khilafah. Sesuai dengan firman-Nya yang ditegaskan dalam Qur’an Surat Al-Anbiya ayat 107, artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” Betapa mulia dan agungnya tuntunan ajaran Islam dalam mengatur perkara ummat khususnya dalam pembiayaan jaminan kesehatan. Lantas apa yang membuat kita ragu terhadap penerapan syariat Islam di berbagai lini kehidupan?
*Tulisan ini adalah ‘Surat Pembaca atau Opini‘ kiriman dari pembaca. IDTODAY.CO tidak bertanggung jawab terhadap isi, foto maupun dampak yang timbul dari tulisan ini. Mulai menulis sekarang.