Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam/ Dosen dan Pengamat Politik
JAKARTA – Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim mengatakan sebagian besar guru gagap dengan pembelajaran daring yang diberlakukan di sejumlah daerah. Ramli menegaskan bahwa adanya virus Covid-19 ini membuka realitas bagaimana sesungguhnya kualitas guru. Pendidikan masih gagap dalam menghadapi kondisi seperti ini. Ia mengaku setengah tidak percaya saat seorang guru di Jakarta mengaku bingung harus bikin apa dan menganggap libur itu tidak efektif untuk pembelajaran. Bahkan beberapa daerah mengarahkan guru dan siswa belajar daring dengan mengirimkan penugasan seperti memberikan PR kepada anak didik.
Dia menambahkan sejak diberlakukannya belajar di rumah di beberapa provinsi, sejumlah guru mulai kebingungan bagaimana mengajar siswanya yang ada di rumah. Pembelajaran daring, kata dia, bukan hanya guru mengerjakan tugas di rumah. Melainkan benar-benar seperti di kelas tetapi menggunakan teknologi. Sejak 10 tahun terakhir, kata dia, IGI tak henti-hentinya hentinya melakukan upaya digitalisasi sekolah dan sangat intens dalam tiga tahun terakhir mengenai segala hal diberikan kepada guru termasuk bagaimana mereka mengelola kelas dari jauh. Hal itu bermanfaat pada saat ini.(republika.co.id. 19/03/2020)
Kesalahan dalam proses belajar memgajar kelihatannya selalu tertuju pada sosok/individu khususnya para guru. Hal tersebut sebenarnya hanya akan menghilangkan beberapa faktor x yang bisa mempengaruhi terjadinya kesalahan. Jadi, tidak bijak jika hanya menyalahkan satu item saja. mengapa demikian?
Pertama, Ketua IGI saat mengatakan bahwa dengan terjadinya kondisi pandemik sekarang, membuka realitas kondisi guru. Lho, selama ini kemana saja IGI? Masa tidak tahu kualitas anggotanya? Hingga menunggu wabah dulu terjadi baru terdeteksi. Apakah selama ini, penerapan pembelajaran berbasis teknologi tidak diberlakukan disetiap sekolah? Jakarta misalnya, sekelas kota besar rasanya sulit dipercaya jika jauh dari pantauan IGI. Ditambah berada di pusat ibukota lagi.
Kedua, guru dianggap bingung saat anak-anak diliburkan. Dan tidak mampu memberikan pembelajatan tehnik jarak jauh. Sebenarnya wajar saja bingung. Siswa libur, guru tetap ke sekolah. Mau ngajar siapa? Bukankah surat edaran yang ada juga berbunyi sekolah diliburkan? Tentu lah siswa memahaminya off belajar. Meskpiun ada himbaun dari pihak sekolah untuk tetap belajar di rumah, siapa yang bisa jamin himbauan itu diterima dan dilaksanakan dengan baik? Harusnya sekolah menegaskan, akan mengganti strategi pembelajaran selama wabah. Tetap sekolah seeprti biasa, namun dikoneksikan ke rumah masing-masing. Guru tetap datang ke sekolah dan mengkoneksikan dirinya dengan jumlah siswa dikelas yang seharusnya dia ajar. Nah, butuh kerjasama dan kesiapan sekolah tentunya bukan? Masa dibebankan pada guru saja. Kesalahan membuat informasi sangatlah mempengaruhi pemahaman dan tingkah laku. Tetapi muncul pertanyaan lain lagi, apakah semua sekolah punya atau mampu melakukan pembelajaran jarak jauh seperti teleconference dengan banyak audience pada satu waktu dan satu media dari sekolah? Dan apakah semua siswa memiliki jenis handpone dengan teknologi memadai melakukan hal tersebut? Jika jawabannya adalah tidak, maka stop menyalahkan para guru.
Ketiga, Ketua IGI mengatakan telah intens memberikan pembekalan terhadap guru selama tiga tahun terkahir untuk melakukan proses pembelajaran jarak jauh. Pertanyaannya sama, apakah semua sekolah siap? Apakah guru-guru secepat kilat akan paham? Beban guru sudah terlalu banyak dengan teori-teori dan konsep pendidikan tidak karuan yang membuat mereka lelah sebelum melakukan proses pembelajaran. Menyusun RPP setiap ingin masuk, membuat format penilaian setiap selesai pembelajaran, ditambah lagi harus belajar tekonologi yang menambah beban isi kepala mereka dan hampir meledak jika bisa dilihat. Apalagi buat guru yang sudah usia 50 ke atas. Kalau surat sudah isinya libur, ya libur saja. jangan menuntut banyak hal. Bukankah ada orangtua siswa yang memantau mereka sebagai kewajiban utamanya? Gurunya lebih kasihan terus keluar padahal harusnya lockdown. Bagaimana jika gurunya punya riwayat penyakit lain dan dihinggapi virus lagi karena menerobos wabah? Tolong empatilah. Biarkan semua mengisi masa lockdown dengan cara masing-masing.
Keempat, meskipun tidak semua guru demikian, tetapi mayoritas mengalaminya. Belum lagi terkadang pelatihan yang dilakukan juga tidak semua pelaksaan efektif dan sesuai target dilapangan. Karena tadi, salah satu faktor usia dari guru, waktu yang diberikan, belum lagi ngalor ngidul cerita saat pembakalan berlangsung. Akhirnya, hanya sekedar mengejar target loporan kegiatan dan menghabiskan anggaran.
Semua ketidakbijaksanaan itu terjadi akibat pemahana sekuler. Selalu memandang masalah setengah – setengah dan tidak menyentuh akar masalah. Terlalu dini memyalahkan satu pihak tanpa berfikir pihak lain yang mempengaruhi masalaha yang ada. Kondisi guru yang demikian tentu banyak faktor yang menyebabkannya sebagaimana dijelaskan diatas. Jadi, seharusnya bukan cuma guru yang jadi sorotan gagalnya pembelajaran jarak jauh. Tetapi realitas keadaan lingkungan juga harus dipertimbangkan matang-matang. Mungkin ada memang guru yang cuek dan lalai. Tetapi tentu ada juga faktor lain yang menyebabkannya.
Kirikulum yang ada hari ini sudah cukup membuat guru dan siswa merasa tertekan. Dengan segudang kegiatan dan tuntutan. Pada akhirnya, apapun yang diamanahkan dilaksanakan seadanya bukan karena rasa tanggungjawab lagi. Kurikulum terus berganti sesuai keinginan penguasa dan juga dunia. Pendidikan dianggap gagal jika tidak mampu beradabtasi dengan kemajuan global. Padahal pendidikan hanyalah satu bagian dari Negara. Jika Negaranya mampu bersaing dalam globalisasi, pasti pendidikannya juga mampu. Sebab Negara yang berkemampuan pasti ditopang dengan ekonomi yang sehat dan politik yang jauh dari intrik. Jika Negara memiliki dana yang cukup dan benteng pertahanan Negara, maka setiap unsur pembentuknya seperti pendidikan juga akan selamat.
Tidak seperti pendidikan dalam pengurusan Negara yang gagal sebab mengadopsi kapitalisme. Hanya menuntut mengikuti persaingan global, namun tidak punya pertahanan kuat dari serangan ekonomi kapitalis dan pemikiran opprtunistiknya. Sehingga pendidikan pun menjadi sasaran pengrusakan. Sudah berapa guru terjerat kasus asusila? Kasus narkoba? Korupsi anggaran di sekolah meski tidak terungkap? Kekerasan fisik? Dan sebagainya. Pendidikan dan para guru dituntut mampu menyesuaikan dengan arus globalisasi, sementara hasilnya adalah kegagalan dalam ramgka menjadikan peserta didik menjadi manusia dewasa, dan gagal melahirkan para guru yang amanah.
Jadi, problem utama pendidikan bukan hanya pada guru yang gagal memberikan pembelajaran jarak jauh saat pandemic, tetapi lebih kepada pengaturan pendidikan dan sistem Negara yang menaunginya. Dan ceritanya akan berbeda jika Islam menjadi aturan Negara dan mengelola pendidikan. Sarana dan prasarana akan diupayakan memadai hingga ke penjuru negeri. Kualitas guru tidak berbeda di Desa dengan Kota, sehingga proses pembelajaran lancar baik offline maupun online. Dan pada akhirnya akan menghasilkan output yang membanggakan negeri juga membuka mata dunia. Wallahu a’alm bissawab.
*Tulisan ini adalah ‘Surat Pembaca atau Opini‘ kiriman dari pembaca. IDTODAY.CO tidak bertanggung jawab terhadap isi, foto maupun dampak yang timbul dari tulisan ini. Mulai menulis sekarang.