Hari-Hari ke Depan Semakin Kelabu, Lockdown Bukan Opsi Lagi

“Bang Bir kenapa gak teriak Lockdown lagi? Ayo dong demi keselamatan rakyat Indonesia”.

Sebuah pesan bernada cemas masuk ke inbox saya. Kecemasan yang dirasakan teman ini sejatinya sudah saya cemaskan sejak lama. Sekarang semua merasa cemas. Tetiba saja melihat tetangga seperti melihat hantu.

Tiga tahun lalu, mama saya sakit pneumonia. Usianya sudah sepuh. 82 tahun. Saturasi oksigennya tinggal 88 persen. Oleh dokter diberi oksigen. Paru-parunya semakin melemah. Lalu dokter menyarankan dipasang ventilator. Saya harus mengambil keputusan.

Sebagian keluarga bilang legowo. Ikhlaskan saja. Karena kalo dipasang ventilator itu sakit. Selang dimasukkan ke paru-paru melewati tenggorokan. Oksigen dipompa ke paru-paru melalui ventilator.

Membayangkan orang yang kehilangan fungsi paru-paru itu sangat menyedihkan. Mama saya sesak nafas. Nafasnya tersengal satu-satu.

Wajahnya pucat. Tersiksa sekali. Tidur tdk bisa. Karena tubuhnya kekurangan oksigen. Paru-parunya tidak berfungsi 100 persen untuk menghisap oksigen. Sekalipun itu oksigen murni.

Saya berhari-hari menemani mama dalam kondisi sakit paru-paru itu. Akhirnya saya tanda tangani surat persetujuan pemasangan ventilator.

Setelah dipasang ventilator, baru mama bisa tertidur. Wajahnya langsung bersinar. Ia tenang. Meskipun mulutnya dipasang selang. Tangannya dipasang infus. Tapi nafasnya sudah bagus. Saturasi oksigen naik ke 96.

Hampir seminggu lebih dipasang ventilator, paru-paru mama mulai berfungsi. Obat antibiotik disuntik. Utk mematikan bakteri. Dan puji Tuhan akhirnya selama dua minggu lebih di rumah sakit sembuh.

Apa yang dialami penderita Covid 19 itu sama seperti yang dirasakan orang yang sakit pneumonia. Rasanya melihat orang yg sulit bernafas itu mengerikan sekali.

Baca Juga:  Senjata Makan Tuan! Niat Bully Anies Gagal, Menteri Jokowi Malah Dipermalukan

Covid 19 menyerang paru-paru. Paru-paru menjadi flek putih karena virus corona berkembang biak dalam paru-paru. Akhirnya paru-paru menjadi basah dan tidak mampu lagi menyerap oksigen.

Sejak awal saya adalah orang yang mengambil sikap agar pemerintah melakukan lockdown segera. Saya menerima nalar pertimbangan alasan akal sehat mengapa lockdown itu ampuh menghentikan penyebaran Covid 19.

Latar belakang pemikirannya sudah pernah saya tulis jauh sebelumnya. Saat awal-awal dulu, ramai orang menentang kebijakan lockdown. Alasannya semata soal ekonomi. Ekonomi bakal anjlok. Terjadi chaos. Jokowi bisa jatuh. Duit negara gak mampu membayar semua itu.

Ya udah. Saya gak bisa maksa. Saya hanya bisa menyampaikan pendapat sama seperti anak bangsa lainnya. Hitungan saya soal kemanusiaan saja. Keselamatan nyawa.

Sekarang lupakan lockdown. Lockdown itu sudah gak punya momentum lagi. Tak ada lagi batas yang bisa dilock. Sekarang arus manusia alias arus keluar masuk virus tak ada batas tembok lagi. Ibarat pintu gerbang kota, kota sudah dimasuki virus. Virus itu berasal dari warga kota sendiri.

Sebagai contoh, seorang pendeta GPIB Batam Ibu Sintiche Patinaja awal Maret lalu sehat walafiat. Ia pergi ke Bogor ikut seminar bersama dengan utusan dari banyak kota. Status Bu Sintichia ini disebut PDP Pasien Dalam Pengawasan.

Kemarin, ibu Sintiche meninggal dunia. Ia positiv Covid 19. Dari pelacakan ada 45 orang jemaat yang menjenguk Ibu Sinticia saat diopname di rumah sakit. Ke 45 orang ini tidak tahu bahwa posisinya sudah ODP Orang Dalam Pengawasan. Sayangnya, status positive Covid 19 diketahui belakangan.

Baca Juga:  Umat Islam Siaga Satu, PKI Akan Bangkit Lewat RUU HIP

Artinya banyak orang tidak tahu bahwa menjenguk ibu Sintiche itu sama saja menjemput bom waktu. Kemarin, ke 45 orang itu dipaksa karantina oleh pemerintah Kota Batam. Dijemput pakai bus.

Tapi masalahnya, selama dua minggu ke 45 orang ini juga sudah membawa virus lalu menularkan ke orang lain. Mereka merasa sehat-sehat saja. Saat berjabat tangan hidungnya gatal lalu ngupil. Kucek-kucek mata. Congkel gigi. Ujungnya virus masuk dalam tubuh.

Perhatikan. Ibu Sintiche terkena Covid 19 karena pergi ke Bogor. Lalu menyebarkan di kota Batam. Sekarang ada banyak yang menjadi ODP. Virus sudah bergerak bukan dari luar kota lagi. Tapi dari tetangga kiri kanan. Teman satu gereja. Teman satu sekolah. Teman satu kerjaan. Teman satu perkumpulan.

Dalam hitungan hari meledak jumlah ODP. Selanjutnya akan naik PDP. Menaik lagi menjadi eksponensial. Begitu terus. Dan jumlah akan meledak ke puncak.

Dari kecepatan ledakan penyebaran Covid 19, opsi lockdown itu sudah expire. Kadaluarsa. Sudah habis masanya. Pintu gerbang kota sudah terbuka. Sekarang penyebaran bukan antar kota lagi. Bukan antar provinsi lagi. Tetapi sudah antar RW. Antar Kelurahan. Antar kecamatan.

Ini seperti kita berada dalam satu baskom kecil. Baskom kecil itu sudah beratapkan langit yang dipenuhi virus corona. Kita manusia berdampingan hidup dengan corona.

Kita saat makan bakso di kedai tidak tahu di meja ada bekas ODP atau PDP yang meninggalkan jejak virus. Kita duduk makan di sana. Lalu menyentuh meja. Tangan kita terpapar. Lalu hidung gatal. Kita ucek-ucek. Jadilah kita punya status baru ODP.

Baca Juga:  “Pemulihan Kondisi”, Sudah Saatnya kah?

Dari random penyebaran ini ada yang tumbang. Ada yang santuy tidak merasa sakit bergejala. Yang tidak merasa sakit akan terus bergerak jadi pembawa virus. Ia menjadi pembawa wabah.

Nah, andai saat awal pertama begitu diketahui ada yang positif Covid 19 langsung dilockdown. Maka, arus penyebaran virus tertahan. Minimal Ibu Sintichia tidak jadi bepergian ke Jakarta. Artinya Ibu Sintichia tidak akan tertular lalu Batam akan bebas corona.

Kira-kira begitulah landasan akal sehat makanya penting sekali lockdown saat awal diketahuinya ada orang yang positif.

Baiklah. Kita lupakan lockdown.

Lalu apa yang bakal terjadi ke depan?

Tentu saja akan semakin banyak yang terkena. Angka akan naik secara eskponensial. Bisa jutaan orang. Jika sudah tidak mampu lagi negara mengobati orang yang PDP, maka berlaku hukum seleksi alam seperti di Italia.

Yang tak bisa ditolong lagi direlakan saja meninggal dunia. Bersiaplah ada pemakaman massal. Seperti di China, Italia dan Iran.

Nah tentu ada yang survive. Siapa mereka? Mereka adalah orang yang menjaga diri disiplin tidak terkena. Bersyukurlah mereka. Juga orang yang kena tapi kuat imunitas tubuhnya. Bersyukurlah orang yang kuat ini.

Hari-hari ke depan kita akan berada dalam keadaan yang semakin kelabu. Trend angkanya begitu.

Mengapa?

Karena yang menularkan bukan orang jauh atau orang luar kota lagi. Tapi orang lokal. Bisa jadi tetanggamu. Atau pembantumu sendiri.

Segalanya bisa terjadi.

Begitulah hidup. Thats a life.

Salam perjuangan penuh cinta

Artikel ini pertama kali tayang di netralnews.com

Penulis: Birgaldo Sinaga

Tulis Komentar Anda di Sini

Scroll to Top