Oleh: Nelly, M.Pd
Aktivis Peduli Negeri
Miris! sekaligus mengelus dada, publik kembali dikejutkan dengan adanya rencana kebijakan baru dari para elit. Di kala pandemi corona masih mewabah di seantero negeri dan menjadi fokus penanganan di tengah masyarakat, tiba-tiba ramai diberitakan dalam bahwa DPR RI bakal mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) Nomor 4 tahun 2009 pada bulan April.
Sebelumnya RUU Minerba telah ditunda oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), karena banyaknya yang menolak dan mendapat protes aksi besar-besaran pada akhir September 2019 yang lalu. Menyoal wacana pengesahan kembali RUU Minerba ini, berbagai kalangan peneliti dan aktivis pertambangan menyampaikan kecaman mereka. Pasalnya, pengesahan RUU tambang saat kondisi seperti ini dinilai melanggar secara proses dan substansi.
Kita patut mengkritisi, sebab proses memutuskan kebijakan ini terkesan dilakukan secara diam-diam dan mengambil kesempatan saat pandemi corona. Lebih dari itu, RUU Minerba yang akan disahkan DPR ini pun juga dipandang bisa mengancam hilangnya mata pencaharian masyarakat utamanya di sekitar tambang. Tanggapan sekaligus penolakan atas kebijakan ini datang dari berbagai kalangan, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rahma Mary dalam Konferensi Pers Online, beliau meminta pembahasan dan pengesahan RUU Minerba ini untuk dibatalkan.
Masih menurut Siti, banyak hal yang harus kita kritisi soal kebijakan ini, mulai soal proses, hak partisipasi dan informasi masyarakat yang dilanggar. Belum lagi dari substansi, apa yang diatur, potensi pelanggaran HAM-nya banyak, informasi, pembangunan, budaya, lingkungan, air dan hak atas mata pencaharian masyarakat, (kumparan.com). Hal senada datang dari Manajer Advokasi Publish What You Pay (PWYP) Ariyanto Nugroho yang mengungkapkan, bahwa DPR belum pernah mengundang masyarakat sipil dalam pembahasan RUU Minerba ini.
Ariyanto menambahkan, bahwa jauh sebelum maraknya Covid-19 ini pihaknya telah beberapa kali mengirim surat ke komisi VII untuk meminta audiensi terkait RUU Minerba, namun, tidak ada tanggapan. Dan seharusnya menurut Ariyanto pembahasan RUU Minerba juga melibatkan masyarakat sekitar tambang. Sementara itu menurut Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah melanjutkan, ada beberapa pasal yang berpotensi menjadi ancaman bagi masyarakat jika RUU Minerba ini disahkan.
Dalam pasal 165 di RUU Minerba yang memiliki kecenderungan melindungi pejabat korupsi yaitu dengan menghilangkan pasal pidana terhadap pejabat yang mengeluarkan izin bermasalah. Padahal sebelumnya, mestinya di sanksi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200 juta. Masih menurut Johansyah, RUU Minerba ini juga ada penambahan pasal yang berpotensi menambah pembongkaran dan perusakan lingkungan atas komoditas baru seperti logam tanah jarang dan radioaktif.
Bahkan yang lebih berbahaya lagi, adanya peluang land banking, dikarenakan perusahaan tambang akan bisa menguasai tanah dalam skala besar setidaknya 8 tahun. Pasal 115A di RUU Minerba juga dikritik bisa membuka peluang kriminalisasi terhadap warga penolak tambang. Tak hanya itu, Peneliti Tambang dan Energi Auriga Iqbal Damanik juga menyebut, RUU Minerba ini akan memuat perubahan pasal 169 sebagai upaya pemutihan renegosiasi kontrak Pemegang Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sehingga hanya akan menguntungkan para pengusaha tambang. Damanik menyebut bahwa bahayanya UU minerba ini bisa tetap berlaku meski presiden tidak menandatangi seperti UU KPK saat ini.
RUU Minerba ini memang seharusnya kita tolak, karena keberadaanya bukan ditujukan untuk sebesarnya kesejahteraan rakyat. Yang ada malah menguntungkan pihak investor yang notabene adalah para kapital pemilik modal. Dan sangat tidak etis membahas bahkan mau mengesahkan RUU di saat negeri sedang berduka akibat wabah, apalagi RUU ini masih menuai polemik. Seakan para wakil rakyat DPR RI tidak memiliki simpati, justru memanfaatkan situasi pandemi Virus Corona untuk memuluskan revisi UU Minerba.
Carut marut masalah seperti ini bukanlah hal yang baru bagi bangsa ini, sudah menjadi fenomena sepanjang negeri ini merdeka, segala kebijakan lebih memihak pada koorporasi para kapital pemilik modal. Tarik ulur kepentingan selalu mewarnai pengesahan UU, kepetingan rakyat sangat jauh diperhatikan. Sumberdaya alam yang melimpah ruah seakan hanya dongeng tanpa dirasakan oleh wong cilik. Persoalan ini membuat publik pun bertanya mengapa hal ini terjadi? Apa yang salah dari tatakelola negeri ini?
Paradigma pengaturan dan pengeloaan negeri seperti ini sebenarnya tidak lepas dari sistem aturan yang telah diadopsi yaitu sistem kapitalis demokrasi. Di mana dalam sistem ini dengan alasan investasi memberi ruang seluas-luasnya kepada para kapital untuk memiliki sumber daya alam negeri, salah satunya melalui UU Minerba.
Dalam sistem Kapitalisme, sektor publik terutama SDA meniscayakan untuk diliberalisasi dan privatisasi untuk kepentingan para pemilik modal. Sementara negara posisinya hanya sebagai regulator dan fasilitator saja. Bahkan negara yang memfasilitasi para kapital untuk menggarap setiap kekayaan alam negeri, lagi-lagi nasib rakyat yang tidak diperhatikan.
Jika demikian wajarlah jika kemudian sebagaimana banyak diungkap hampir 90% kekayaan alam negeri ini dikelola oleh pihak asing atas nama penanaman modal asing (PMA). Sialnya, itu berlangsung sejak tahun 1967 saat Rezim Orde Baru mulai meliberalisasi perekonomian nasional dengan mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing hingga saat ini. Apalagi ini diperkuat dengan akan disahkannya RUU Minerba, semakin memperparah SDA negeri di miliki asing.
.
Jika kondisi ini terus berjalan sesuai pengaturan yang ada, maka dapat dipastikan Indonesia yang terkenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi hanya sebatas jargon, karena kekayaan alamnya telah habis di keruk oleh para kapital dengan ijin sistem peraturan. Andai suluruh SDA dari sabang sampai merauke di kelola oleh negara kemudian hasilnya di serahkan kepada rakyat, maka kemakmuran yang akan bangsa ini dapatkan. Sudah saatnya kita keluar dan akhiri tatakelola negara yang hanya membuat bangsa ini jauh dari negeri yang memberi kesejahteraan pada rakyatnya.
Lantas bagaimana sistem aturan yang benar dan mampu mengelola SDA negeri ini untuk kemaslahatan bangsa dan rakyat?
Jika kita telaah sejarah kehidupan manusia, maka sejarah peradaban gemilang itu pernah hadir menaungi umat manusia semenjak Rasulullah hijrah ke Madinah dan menerapkan sistem Islam. Hingga diteruskan oleh pemimpin Islam selanjutnya telah nampak hingga 1300 tahun kehidupan sejahtera yang dirasakan baik muslim maupun nonmuslim. Islam hadir tentu tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam. Allah SWT berfirman: “Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) Al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (TQS an-Nahl [16]: 89).
Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing. Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah Saw.: Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal yaitu air, rumput dan api”. (HR Ibnu Majah).
Rasul Saw. juga bersabda: “Tiga hal yang tak boleh dimonopoli yaitu air, rumput dan api (HR Ibnu Majah). Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadits tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul Saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul Saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul Saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadits tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasulullah Saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, ketika kemudian Rasul Saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar digambarkan bagaikan air yang terus mengalir maka beliau mencabut kembali pemberian itu.
Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Berdasarkan hadis ini, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing. Tentu yang menjadi fokus dalam hadis tersebut bukan “garam”, melainkan tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi Saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau.
Ini karena sunnah Rasulullah Saw. dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.”
Maka, menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dan sebagianya semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas.
Karena itulah Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”
Sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, setiap Muslim, termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Karena itu semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumberdaya alam, harus dikembalikan pada Alquran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman: “Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (Alquran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir (TQS an-Nisa [4]: 59).
Selain itu, apa saja yang telah ditentukan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, termasuk ketentuan dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagaimana dipaparkan di atas, wajib dilaksanakan. Tak boleh dibantah apalagi diingkari sedikit pun. Allah SWT berfirman: “Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, terimalah (dan amalkan). Apa saja yang Dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah sangat pedih azab-Nya. (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Allah SWT telah menjadikan ketaatan terhadap apa saja yang diputuskan oleh Rasulullah Saw. sebagai bukti keimanan seseorang: “Demi Tuhanmu (wahai Muhammad), pada hakikatnya mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau Muhammad sebagai hakim dalam semua perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa berat di hati mereka terhadap apa yang telah engkau putuskan, dan mereka menerima keputusan itu dengan ketundukan sepenuhnya” (TQS an-Nisa [4]: 65).
Dengan demikian, untuk mengakhiri kisruh pengelolaan sumberdaya alam sebagaimana yang terjadi saat ini, mau tak mau, kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya. Terbukti, di tengah berlimpahnya sumberdaya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan.
Wallâhu a’lam.
*Tulisan ini adalah ‘Surat Pembaca atau Opini‘ kiriman dari pembaca. IDTODAY.CO tidak bertanggung jawab terhadap isi, foto maupun dampak yang timbul dari tulisan ini. Mulai menulis sekarang.