Perusahaan pembiayaan di Sumatera Utara meminta masyarakat tidak menjadikan tameng pidato Presiden Joko Widodo yang akan memberikan relaksasi penundaan pembayaran cicilan selama satu tahun ke depan, untuk tidak melakukan pembayaran dari tunggakan hutang sebelum terjadinya dampak covid 19.
Hal ini dikatakan Penasehat Hukum beberapa Perusahaan Pembiayaan di Sumut, Dwi Ngai Sinaga, SH, MH, kepada wartawan, Minggu (29/3).
Menurutnya, pidato Presiden pada 24 Maret 2020 kemarin menjadi ambigu karena isinya belum berbentuk Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Kepres) atau saran.
“Walaupun isi pidato itu sederhana tapi efeknya luar biasa karena banyak masyarakat menilai penundaan cicilan untuk semua debitur. Ini menjadi polemik, perusahaan pembiayaan akan gulung tijar karena berapa banyak karyawan yang harus dibayar, sedangkan debitur tidak mau membayar cicilannya,” kata Dwi.
Dijelaskan pengacara Medan ini , dari isi pidato Presiden tersebut hanya disampaikan sebagai insyruksi atau himbauan dan belum adanya kekuatan hukum. Sehingga perjanjian antara kreditur dan debitur tersebut tidak berlaku surut dalam artian terhadap objek tersebur dapat dilakukan pembayaran serta pengamanan unit yang dalam tunggakannya dihitung sejak sebelum terjadi dampak covid 19.
“Contohnya terhadap cicilan kredit nasabah yang tertunggak dihitung sejak Oktober 2019-Januari 2020, sedangkan pidato Presiden dan peraturan OJK dikeluarkan 24 Maret 2020 atau nasabah sudah mempunyai tunggakan sebelum adanya dampak covid 19. Dan untuk membuktikan nasabah mempunyai tunggakan berdasarkan history payment yang dikeluarkan oleh pihak leasing,” ucapnya.
Dilanjutkannya, dalam relaksasi kredit tersebut terjadi saat-saat keadaan yang memaksa dalam arti bahwa terdapat tunggakan yang terhitung satu bulan sampai dinyatakan berakhir pandemik covid 19 adalah sesuatu yang lumrah karena secara undang-undang diatur. Namun perjanjian yang dilakukan kreditur dan debitur sebelum terjadinya dampak covid 19 tidak berlaku surut sehingga kewajiban si kreditur harus tetap dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
“Untk itu kami berharap demi kondusifitas ditengah-tengah masyarakat, pemerintah harus cepat dan bijak menangani permasalahan ini,” katanya.
Menurut Dwi Sinaga, masyarakat harus memahami terkait pidato Presdieen tersebut bahwa yang diberikan relaksasi kredit UMKM adalah mereka yang melakukan kredit untuk dilakukan usaha. Sedangkan ada sebagian yang melakukan kredit konsumtif digunakan untuk keperluaan pribadi. Kemudian kredit kendaraan bukan termasuk UMKM yang tujuan dilakukan sebagai permodalan usaha.
“Apalagi terhadap syarat pembiayaan pihak leasing tidak memberikan kredit kepada nasabah yang keperluannya untuk dilakukan usaha seperti ojek online dan taxi online. Sehingga sangat jelas dalam pengajuan kredit antara nasabah dan pihak pembiayaan pada umumnya tidak menjelaskan kegunaannya apakah untuk usaha atau kebutuhan pribadi,” ungkapnya.
Berdasarkan pernyataan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK bahwa perbankan dapat proaktif dalam mengindentifikasi debitur-debiturnya yang terkena dampak covid 19, diutarakan Dwi Sinaga, memiliki pengertian bahwa perusahaan penbiayaan diberi hak mutlak untuk mengindentifikasi debiturnya sudah terjena dampak covid 19 atau sebelumnya. Lalu, tidak serta berlaku terhadap seluruh nasabah yakni nasabah sebelumnya melakukan pembayaran lancar tetapi akibat dampak covid 19 terjadi permasalahan ekonomi sehingga menunggak.
“Hal ini lah yang perlu kebijaksanaan dari perusahaan pembiayaan. Tapi tidak berlaku bagi debitur yang tidak mempunya itikad baik sebelum terkena dampak covid 19 dan yang sudah memiliki tunggakan kredit jauh dari sebelumnya,” kata Dwi.(#)
*Tulisan ini adalah ‘Surat Pembaca atau Opini‘ kiriman dari pembaca. IDTODAY.CO tidak bertanggung jawab terhadap isi, foto maupun dampak yang timbul dari tulisan ini. Mulai menulis sekarang.