Potongan video wawancara Rosiana Silalahi dengan pendiri Saiful Mujani di Kompas TV viral di media sosial. Sejumlah netizen pun mengolok-olok pendiri pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tersebut karena tidak bersedia buka-bukaan siapa yang mendanai kegiatan surveinya.

“Syaiful mujani tergagap2 saat ditanya rossi siapa yg biayai survey,” cuit politikus PKB Umar Syadat Hasibuan dikutip KBA News dari akun Twitter-nya, @Umar_Hasibuan__ yang disertai emoji menyipitkan mata sambil menjulurkan lidah yang bermakna keriangan konyol dengan sedikit malu-malu saat memberikan keterangan video yang diunggahnya tersebut.

Dalam rekaman gambar hidup tersebut tersebut, Rosiana Silalahi mempertanyakan kenapa sumber pembiayaan survei tidak diungkap agar tidak ada kecurigaan publik.

“Untuk mengurangi kecurigaan publik terhadap siapa di belakang survei ini, kenapa Saiful Mujani Research and Consulting itu tidak membuka ‘kami dibiayai oleh capres tertentu, oleh partai politik tertentu, oleh lembaga tertentu’. Mengapa sumber pembiayaan itu tidak dibuka saja?” katanya.

Mendapat pertanyaan demikian, Guru Besar FISIP UIN Jakarta ini mengakui pihaknya pasti membutuhkan biaya untuk menggelar jajak pendapat tersebut. Dana ini pasti tidak berasal dari dirinya. Karena gajinya sebagai seorang profesor tidak cukup untuk memodali sendiri sebuah survei.

“Jadi membutuhkan orang, pasar dalam hal ini. Siapa pun pasar itu, umum, generik. Jadi pasti ada pihak [yang mendanai, red]. Tapi saya tidak akan buka. Dan sumber itu pun keberatan kalau dibuka. Sumbernya itu secara generik saja saya sebut, ada dari partai politik, ada dari calon, ada dari dunia internasional lebih akademik sifatnya. Ada juga dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan 2024,” ungkap Saiful Mujani.

Baca Juga:  SMRC Sebut Ganjar Taat Beribadah, Pengamat: Lembaga Survei Pelacur Politik Harus Dibubarkan

Sebelumnya sejumlah politikus memang mempertanyakan hasil survei yang marak jelang Pemilu 2024. Apalagi temuan antarsatu lembaga dengan lembaga survei lain kerap berbeda-beda. Karena itu memunculkan dugaan hasil survei tergantung siapa yang memesan.

Salah satunya disampaikan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar, lewat akun Twitter-nya, @cakimiNOW, Kamis, 8 Juni 2023.

“Kenapa hasil survey selalu berbeda-beda? Jawabannya tergantung dari sisi mana pertanyaan yang disampaikan ke responden. Apa bisa pesan hasilnya? Ya pasti bisa, tergantung perspektif pertanyaanya. Itupun juga masih tergantung 1 hal lagi; moralitas dan integritas lembaga survenya. Gitu aja kok ribut!” cicitnya.

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny K. Harman. Bahkan dia menilai survei pun dibayar untuk membenarkan skenario penguasa sebagai salah satu cara mengalahkan bakal capres Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan.

“Pengamat dn intelektual juga diberi upah agar memberi komentar yg sejalan dgn kehendak penguasa. Pengusaha dikasih proyek agar dari hasil proyek ada yg disisihkan utk membayar mereka. Apa reasoning utama kaum intelektual, saya tanya misalnya, utk membenarkan pembegalan Partai Demokrat oleh penguasa selain karena mereka mendapat upah utk itu? Ada yg bisa jawab?” tulisnya dengan tagar #RakyatMonitor.

Selain soal sumber pendanaan dan dugaan adanya titip pertanyaan, ada juga pula yang mempertanyakan begitu seringnya lembaga survei seperti SMRC merilis hasil survei sampai seminggu dua kali, bahkan tiga kali dalam satu minggu.

“Saya kagum surveyor SMRC. Seperti pabrik assembling mampu produksi dua atau tiga survei seminggu,” ujar politkus senior Abdillah Toha di akun Twitter-nya, @AT_AbdillahToha, Senin, 5 Juni 2023.

Salah seorang pendiri PAN tersebut mengungkapkan barangkali ini surveyor paling produktif sedunia. Hasilnya selalu mirip-mirip. Barangkali bahan bakunya (kelompok sasaran) sama terus. Dan pemasukannya sudah dijamin oleh pelanggan tertentu?

Abdillah Toha juga menyampaikan kutipan berita tahun 2018. “Selama ini hasil survei SMRC tidak pernah bagus ke NasDem. Ahmad Ali mencontohkan pada jelang Pemilu 2019, SMRC menyebut NasDem hanya akan mendapat 2,9 persen suara pada Pemilu 2019, namun pada kenyataannya NasDem mendapatkan 10 persen.”

Pendapat lebih keras disampaikan pengamat politik Rocky Gerung yang tampaknya menjadi pemicu polemik soal pembiayaan survei ini. Dalam video yang beredar, bekas dosen Filsafat di Universitas Indonesia ini menjelaskan dulu lembaga survei cuma satu, yaitu Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dibiayai oleh Bank Dunia untuk mem-back-up demokrasi di Indonesia.

Baca Juga:  Keluarkan Hasil Survei Elektabilitas Ganjar Naik Jadi 35,9%, Anies Anjlok, SMRC Malah Dirujak Netizen

“Dari lembaga itu beternaklah di situ tokoh-tokoh yang ada sekarang, nipu. Sudah digaji, eh dia bikin di dalam lembaga yang dia udah digaji itu, survei sendiri. Semua lembaga survei yang ada itu sekarang itu urusannya tipu-menipu. Saling nitip kuesioner,” bebernya.

“Karena itu mirip-mirip saja. Jadi selama tidak bisa dibuktikan bahwa itu lembaga dibiayai oleh publik, enggak mungkin itu benar. Tapi nanti mereka bilang ini uang kita sendiri untuk kepentingan publik. Dari mana untungnya kalau uang sendiri,” demikian Rocky.

Saiful Mujani sendiri telah menanggapi pernyataan Rocky Gerung tersebut. Melalui akun Twitter-nya @saiful_mujani, dia mengaku yang mendirikan LSI. Namun bukan dibiayai Bank Dunia. Melainkan Japan International Cooperation Agency (JICA). Pihaknya berharap kemudian bisa mandiri setelah berbagai pihak teryakinkan atas manfaat dari survei tersebut.

“Itu [survei] kemudian soal pruduk dan pasar,” sambungnya.

Saiful Mujani menjelaskan produk yang buruk tidak akan ada pasarnya. Karena itu tak mungkin dikerjakan dengan cara tipu-tipu. Selain itu dia menjelaska, tidak mungkin produk serius tanpa ada dana untuk memproduksinya.

“Pasti ada. tapi sumber biayai tidak boleh dikte proses dan hasil. sama seperti profesi modern lainnya. tipu2 ga ada pasarnya kecuali bagi orang dungu, istilahmu😊 survei opini publik adalah capaian besar dalam studi politik modern,” pungkasnya.

Sumber: kbanews

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan