Beberapa waktu lalu kita sering mendengar istilah “Penumpang Gelap” dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Istilah ini pertama kali disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat terbatas dengan seluruh menteri terkait pada 26 Desember 2019.
Presiden Jokowi yang saat itu memimpin rapat, menyampaikan kepada seluruh jajarannya, agar jangan sampai RUU Cipta Kerja ini menjadi ladang pasal-pasal titipan dari “penumpang gelap” yang hanya ingin memperkaya dirinya dan kelompoknya semata.
Kini RUU Cipta Kerja telah masuk ke garda terakhir pengesahan UU, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, adakah kita saksikan bahwa seruan untuk mewaspadai adanya “penumpang gelap” terimplementasi dalam pelaksanaan pembahasan UU sapu jagat itu?
Anggota fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR, Teddy Setiadi, menerangkan bahwa apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi itu sama sekali tidak tergambar dari proses pembahasan Draf RUU Cipta Kerja selama ini. Hal ini secara kasat mata dapat dilihat dari proses pembuatan hingga pembahasannya buang “super ngebut”.
“Pembahasan Draf RUU Cipta Kerja sampai saat ini super instan dan super kilat. Bayangkan saja, RUU Cipta Kerja ini pertama kali disampaikan dalam Pidato Pelantikan Presiden di Sidang Paripurna MPR pada tanggal 20 Oktober 2019. Dalam jangka waktu 4 (empat) bulan kemudian, tiba-tiba Pemerintah telah menyelesaian Draf RUU Cipta Kerja yang terdiri dari revisi 79 UU dan 1228 pasal (1028 lembar), dan menyerahkannya secara resmi kepada DPR padal tanggal 12 Februari 2020,” urai Teddy dalam keterangan tertulis, Rabu (20/5).
Kejanggalan tak berhenti di situ. Teddy mengingatkan bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja selama ini terkesan dilakukan secara tertutup. Apalagi substansi yang terkandung dalam calon UU tersebut lebih menggambarkan upaya memberikan karpet merah dalam perizinan berusaha kepada pemilik modal, dibandingkan penciptaan lapangan kerja baru dan kesejahteraan kepada masyarakat Indonesia.
Lebih jauh anggota Komisi II DPR ini mengungkapkan bahwa jumlah Daftar Inventaris Masalah (DIM) dalam RUU Cipta Kerja mencapai 7.201 DIM. Angka yang jauh tinggi dibandingkan DIM yang ada dalam RUU KUHP. Padahal RUU KUHP memakan waktu pembahasan selama 40 tahun terakhir.
“Bila diperbandingkan, jumlah DIM RUU Cipta Kerja ini lebih besar 3 (tiga) kali lipat dibandingkan DIM RUU KUHP yang tidak selesai dibahas selama 40 tahun terakhir ini,” kata Teddy.
Selain itu, yang masih menjadi anomali dalam RUU Cipta Kerja, kata Teddy, adalah kontroversi yang tak berkesudahan di masyarakat, tetapi pada saat yang sama pemerintah menargetkan bisa menyelesaikan pembahasannya dengan Baleg DPR RI dan menetapkannya menjadi Undang-Undang selama 1 sampai tahun ke depan.
”Kesan ambisius untuk mempercepat pembahasan RUU Cipta Kerja ini semakin terlihat ketika Pemerintah dan Panja Baleg DPR RI, tetap memaksakan untuk membahas RUU ini ditengah masa pandemi Covid 19 dan bahkan pembahasannya juga akan dilakukan di masa reses DPR RI.”, pungkas legislator daridapil Kota Bandung dan Kota Cimahi ini.
Sumber: teropongsenayan.com