Tulisan opini Mayor Jenderal (Mayjen) TNI Kunto Arief Wibowo terkait soal kecurangan pemilihan presiden (pilpres) 2024 yang berjudul “Etika Menuju 2024” menjadi sorotan publik khususnya Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Demokratis terdiri dari Imparsial, ELSAM, PBHI Nasional, HRWG, Centra Initiative, Forum de Facto, WALHI, dan Setara Institute.

Dalam tulisan opini disebutkan, berbagai dinamika terus dibiarkan dan provokasi bebas berkembang, jadi ancaman pertahanan keamanan dan ini perlu diwaspadai, dikutip pada Jumat (21/7/2023) dari tulisan opini Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo yang selengkapnya tayang di TribunJabar.id pada Senin, 10 April 2023.

Ranah provokasi adalah wilayah yang berbahaya. Provokasi ini bisa dilakukan dengan melempar isu tanpa identitas atau semacam surat kaleng. Karena surat itu dibuat dalam bentuk spanduk atau poster atau unggahan di media sosial yang kemudian diviralkan, maka ia tak bisa diabaikan. Efeknya pada publik akan bervariasi.

Wilayah provokasi memang masuk ke daerah ini, memanas-manasi. Provokasi dan geliat komunikasi politik yang kini sudah menjurus ketidaketisan, harus menjadi perhatian.

Provokasi politik ini menunjukkan secara kuat bahwa iklim demokrasi dan komunikasi politik yang masih membutuhkan “terapi”.

Terapi diperlukan karena pelaku politik masih rendah dan minim dalam pendidikan politik. Sementara pendidikan politik tidak berjalan baik karena lembaganya sendiri yang memang tidak mau atau tidak serius melakukan. Kita tidak mempersoalkan siapapun yang bertarung dan siapapun kontestan. Selagi memenuhi syarat, silahkan turun ke gelanggang.

Mau main jujur? Bagus dan memang harus begitu. Mau main curang? Ada aturan yang akan membatasi. Ketika permainan curang tersebut sudah membuat penonton heboh atau bahkan membuat penonton menjadi resah dan tidak nyaman, maka “terapi” khusus harus diterapkan. Aturan hukum akan jadi acuan dan TNI siap tampil sebagai pengawal pada proses itu.

Ditanggapi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Demokratis

Terkait tulisan opini Mayor Jenderal TNI Kunto Arief Wibowo yang saat itu masih menjabat sebagai Panglima Kodam (Pangdam) III/Siliwangi, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Demokratis langsung memberikan tanggapan.

“Kami menilai pernyataan Pangdam dalam tulisan tersebut sangat berdimensi dan bernuansa politis. Substansi tulisan tersebut sesungguhnya merupakan bentuk pernyataan politik, yang dibuat oleh prajurit militer aktif, yang tentunya berbahaya bagi kehidupan demokrasi dan supremasi politik sipil di Indonesia,” demikian dikutip dari siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Demokratis yang tayang tayang di portal Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jumat.

Pernyataan Pangdam yang berbunyi, “Demi alasan pertahanan dan keamanan, TNI agaknya harus sedikit maju mengambil posisi dalam menyikapi situasi tertentu”, merupakan pernyatan politik yang tidak dapat dibenarkan secara aturan hukum perundang-undangan, dalam konteks negara hukum demokratis.

Sebagai prajurit, TNI tidak boleh dan tidak bisa satu pernyataan atau tulisan yang di dalamnya mengandung unsur ancaman dalam menghadapi situsi dan kondisi kebangsaan terkait kehidupan politik sipil, dalam hal ini pemilu.

TNI merupakan alat pertahanan negara yang bertugas menjalankan fungsi pertahanan negara. Mereka, terutama dalam hal ini adalah Pangdam III/Siliwangi, tidak diperkenankan menilai kehidupan politik sipil ke depan.

Apalagi sembari memberikan ancaman perihal upaya memperbesar ruang bagi militer dalam politik. Langkah tersebut tentunya sangat berbahaya bagi kehidupan dan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Menurut Pasal 39 Ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, setiap prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis. Dengan demikian, pernyataan dan tulisan Pangdam III/Siliwangi tersebut seharusnya tidak boleh terjadi, karena telah melanggar aturan dalam UU tersebut.

Larangan bagi TNI untuk berpolitik praktis, sesungguhnya merupakan upaya serius dari bangsa ini, untuk menjaga netralitas dan profesionalisme, sebagai alat pertahanan negara.

Koalisi menilai, DPR, para pemimpin sipil, Panglima TNI dan Kasad harus mengkoreksi kebijakan dan sikap prajurit TNI yang demikian. Demikian pula Pangdam Siliwangi yang menunjukkan sikap politiknya dalam ruang publik tersebut.

Demi tegaknya supremasi sipil, DPR semestinya secara tegas menjalankan fungsi kontrol sipil demokratis terhadap militer, untuk memastikan tidak lagi terlibatnya militer dalam ruang politik sipil.

Lebih dari itu, koalisi juga mendorong otoritas sipil dan pimpinan TNI untuk menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah agenda reformasi TNI yang belum dijalankan, seperti restrukturisasi komando teritorial, masih banyaknya kekerasan aparat TNI, reformasi sistem peradilan militer, dan lain-lain. Penuntasan berbagai agenda tersebut penting dalam upaya membangun TNI menjadi alat pertahanan negara yang semakin profesional ke depan.

Koalisi juga mendesak hal yang sama kepada seluruh jajaran dalam institusi Polri, tidak boleh pula terlibat dalam politik praktis. Hal itu mengingat pada masa lalu ada dugaan kuat bahwa Polri berpolitik dan terlibat dalam memenangkan kandidat tertentu.

Polri adalah alat keamanan dan pengayom mayarakat, sekaligus pelaksana fungsi penegakan hukum, sehingga meskipun bagian dari institusi sipil, Polri tetap tidak diperkenankan terlibat dalam kegiatan politik praktis. Begitu pula dengan Badan Intelijen Negara, yang harus bersikap netral dan tidak boleh berpolitik, untuk menjamin professionalisme intelijen negara.

Koalisi juga mendesak kepada pemerintah dan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), dari pusat sampai daerah, untuk selalu bersikap dan bertindak netral, serta tidak terlibat dalam tindakan politik praktis untuk pemenangan salah satu kandidat atau peserta pemilu tertentu. KPU dan Bawaslu harus menjalankan fungsinya secara objektif dan bertanggungjawab, akuntabel, dan netral sebagai penyelenggara pemilu.

Baca Juga:  Sandi Bicara Soal Peluang Dirinya Maju di Pilpres 2024: Menjadi Apapun ke Depan Yang Terpenting Kontribusi Untuk Mensyarat

Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo Dimutasi

Kini, Mayor Jenderal (Mayjen) TNI Kunto Arief Wibowo telah dimutasi dari Panglima Kodam III/Siliwangi menjadi Wakil Komandan Komando Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Darat (Wadankodiklatad).

Mutasi tersebut berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/779/VII/2023 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia. Total, terdapat 96 perwira menengah dan perwira tinggi TNI yang dimutasi dan dipromosikan dalam surat keputusan tertanggal 17 Juli itu.

Mayjen Kunto Arief Wibowo lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 15 Maret 1971. Jenderal bintang dua ini merupakan abituren Akademi Militer (Akmil) 1992 dari kecabangan infanteri. Mayjen Kunto Arief Wibowo mempunyai darah keturunan militer.

Ayahnya adalah Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno yang tak lain merupakan mantan Panglima ABRI, sebelum berganti nama menjadi TNI, dan Wakil Presiden (Wapres) keenam.

Sang kakak dari Kunto ialah Irjen Firman Santyabudi, saat ini sebagai Kepala Korps Lalu Lintas Polri. Sementara, abang iparnya ialah Jenderal TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu, suami dari Nora Tristyana, sang kakak perempuan.

Dalam karier militernya, Kunto beberapa kali mengemban posisi sebagai seorang komandan. Di antaranya, Komandan Peleton (Danton) Yonif Linud 502/Ujwala Yudha dan Danton Yonif Linud 412/Bharata Eka Sakti.

Selanjutnya, Kasi-2/Ops Korem 083/Baladhika Jaya (2007-2008), Komandan Batalion Infanteri (Danyonif) 500/Raider (2008-2009), dan Dansatdik Sussarcab Pusdikif Pussenif (2009-2010).

Lalu, Kasbrigif 13/Galuh (2010-2012), Danbrigif 6/Trisakti Baladaya (2012-2013), Kadep Teknik Akmil (2013-2014), dan Asops Kasdam IX/Udayana (2014-2015).

Setelah itu, karier Kunto kian menanjak. Ia kemudian menjadi Danrem 044/Garuda Dempo (2016-2018), Danpuslatpur Kodiklatad (2018-2019), Danrem 032/Wirabaja (2019-2020), Kasdam III Siliwangi (2020). Berikutnya, Pangivid 3/Kostrad (2021) dan Pangdam III/Siliwangi (2020-2021).

Sumber: Tribunnews

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan